Takhayul Ujian Nasional

1 Comment

Republik sedang galau. Persis ABG. Pejabatnya suka meracau, rakyatnya suka melow-melow. Goyang dombret rame-rame. Asal asoi.

Korbannya anak-anak sekolah. Mereka dicekoki dengan ritual takhayul bernama UN (ujian nasional). Mengapa takhayul?

Ujian adalah tahapan biasa, sangat biasa, dalam suatu proses pembelajaran. Entah sekolah, lebih-lebih hidup, ujian itu satu paket dengan pembelajaran.  Dan banyak sekali ujian di kehidupan ini: termasuk ujian SIM.

Lucunya, ujian di dunia pendidikan formallah yang paling heboh. Seolah-olah pendidikan formal itu instrumen paling yahud dalam penentuan keberhasilan seseorang-sebangsaan. Selain ujian nasional, ujian sertifikasi guru juga tak kurang ributnya.

Sebagai sebuah ritual takhayul, UN ditempatkan layaknya pohon beringin yang keramat. UN harus disembah supaya penyembahnya tidak kesurupan. Kemenyan-dupa disulut supaya aroma mistis merebak. Lampu petromaks diredupnya supaya kesan singup didapatkan. Sajen kembang tujuh rupa berupa soal-soal yang disegel pun dijaga punggawa nagari bersenjatakan bedil.

Tak kurang, mantra-mantra magis pun dilitanikan, “Persiapkan diri kalian! Kerjakan dengan jujur! Yang tidak lulus tidak beroleh ijazah.” Koran mengutip mantra itu besar-besar. Televisi menyorot mulut-mulut pejabat yang komat-kamit melafaskannya. Radio memperdengarkan lagu-lagu penyayat hati pengiris ulu.

Alhasil, anak-anak jempling-jempling saat doa bersama menghadapi UN. Mereka takut bukan kepalang jika Tuhan Maha Besar yang dimohoni tak meluluskan doanya. Takut durhaka, mereka pun sujud sungkem ke lutut guru dan orangtua, berharap semua dosa terampuni sehingga semua soal terjawab.

Masyaallah, kenapa jadi begini? Pendidikan yang mestinya menginspirasi dan menggembirakan berbalik menjadi sedemikian menakutkan? Mau jadi apa negara ini kalau kelak dipimpin oleh generasi takhayul?

Pendidikan itu mencerahkan nalar, memelekkan rasa, mengasah menempa mental, melecut etos, menekuni proses, memperjuangkan hasil secara utuh dan simultan. Bukan menyembah berhala secara sesat dan sesaat.

Yogyakarta, 16 April 2012

AA Kunto A

[http:/www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@solusiide.com]

Tahun Baru Sudah Berbulan-bulan Lalu

Leave a comment

Doa St John de Britto

Kembang api di mana-mana. Langit gelap terpecah cahaya. Pekik terompet menyayat malam. Gempita sekali. Jalanan bersesakan. Pusat-pusat hiburan bertaburan bintang-bintang.

Semua bergembira. Detik-detik pergantian malam disepakati sebagai pergantian tahun. Pantas dirayakan sebab beda dengan malam-malam sebelumnya.

Selebrasi konsumsi pun seperti pesta suci. Banyak orang menyembah kalender baru. Litani tahun lawas masuk keranjang dosa. Ganti mereka berhala pada janji tahun baru. Demit anyar itu mereka kasih nama “resolusi”. Girang bukan kepalang mereka menemu harapan baru ini. Semoga demit itu tidak gentayangan sepanjang tahun, berujung di ujung kubur, resolusi mati tersambar petir.

Padahal, sejatinya, pesta pergantian tahun itu adalah milik para penyelenggara acara. Merekalah empunya pesta. Sudah jauh-jauh hari mereka merancang acara. Sudah jauh-jauh hari mereka tiba di tanggal 31 Desember-1 Januari. Pada penanggalan kerja mereka, sedari lama mereka sudah mencapainya. Maka, sedari itu, mereka telah mengalami tahun baru.

Para penerbit buku, contohnya. Pada buku-buku yang mereka keluarkan di bulan November-Desember, mereka sudah mencantumkan 2012 sebagai tahun terbit. Jika angka 2011 yang dicantumkan, pembaca akan berpersepsi bahwa buku yang mereka peroleh adalah buku lawas, apalagi jika pembaca mendapati buku tersebut di tahun berikutnya. Usia tahun lawas tinggal 2 bulan saja. Dengan mencantumkan tahun 2012, buku yang diterbitkan memiliki masa edar yang lebih lama. Alhasil, ia bisa memiliki waktu 14 bulan untuk tahun berikutnya, 2 bulan lebih lama dari kebanyakan bulan yang dimiliki orang-orang.

Para pencipta selalu berdiri lebih depan. Mereka membuat sesuatu yang bahkan orang kebanyakan belum membayangkannya. Sesuatu yang tidak ada mereka jadikan ada. Malam pergantian tahun yang tak beda dengan malam-malam lainnya itu mereka sulap menjadi sangat berbeda. Mereka bikin malam itu malam ratapan bagi mereka yang tak memujanya.

Para peserta pesta semalam, karenanya, pemungut saja. Mereka tinggal memetik hasilnya, menyaksikan kembang api menari-nari. Tontonan itu sudah jadi, tinggal mereka nikmati. Dan memang nikmat.

Bagi para kreator, tahun baru bisa dihadirkan kapan saja. Tahun baru bisa mereka dudukkan seturut penanggalan yang mereka rancang sendiri. Mungkin pada pertengahan tahun lalu, tahun baru ini sudah mereka masuki. Gambar pancaran kembang api sudah mereka tuangkan di layar gagasan. Tata letak panggung sudah mereka susun segagah mungkin. Para penyanyi, pembawa acara, dan sponsor telah mereka ikat saat itu. Gladi resik pun mereka gelar seawalnya.

Menilik potret itu, kita bisa membaca siapa sejatinya pemilik pesta-pesta itu. Adalah para perancang. Dalam kehidupan sehari-hari, para perancanglah yang berdiri paling depan. Karenanya, pada puncak acara, pesta itu semurninya untuk mereka. Mereka yang pantas menikmatinya.

Membandingkan itu, sungguh menggelikan ketika pada penghujung tahun masih ada yang ribut-ribut soal resolusi tahun baru. Terlambat! Mestinya resolusi diproklamasikan jauh-jauh hari seperti para perancang itu sehingga pada pergantian tahun tinggal mengerjakan. Jika tidak, resolusi baru didengungkan di malam pergantian tahun, bisa-bisa realisasinya di pertengahan tahun berikutnya. Sebab, saat mengumandangkan resolusi belum punya langkah konkret untuk melangkah. Baru girang mengucap lantang, tapi nihil aksi.

Lihat saja, mereka yang semalam histeris ingin ini-itu di tahun baru, saat ini sedang kelelahan karena begadang semalaman. Padahal, hari ini sudah tahun baru. Resolusi itu mestinya sudah dikerjakan. Menunda mengerjakan menyebabkan kesia-siaan pekikan semalam. Sementara itu, para perancang sudah berlari kencang terlebih dahulu. Bahkan, sebelum tahun lawas benar-benar berlalu, mereka telah melaju menyicil kerja tahun baru yang belum tiba. Begitu seterusnya sehingga tiap-tiap tahun menjadi tahun keberuntungan mereka. Para perancang, pencipta, inovator itu sukses karena beraksi jauh lebih cekatan sebelum orang kebanyakan bahkan memikirkannya.

Selamat bekerja.

Jogja, 1 Januari 2012

Salam hangat,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@solusiide.com]

Kebakaran George-got!

1 Comment

Sayangi KeraGeorge Junus Aditjondro (GJA) jadi berita lagi. “George dituding melecehkan Keraton Yogyakarta,” bunyi headline Koran Tempo halaman Jawa Tengah & Yogyakarta edisi Jumat, 2 Desember 2011. Atas tudingan itu, sekelompok orang yang menamakan diri Forum Masyarakat Yogyakarta melaporkan George ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tubuh berita itu menjelaskan hal ikhwal pelaporan itu. Pada sebuah diskusi publik tentang Sultan Ground dan Pakualaman Ground di Fakultas Teknologi Pertanian, Rabu (30/11), George menyebutkan akronim keraton sebagai kera ditonton.

Selain melaporkan ke polisi, forum tersebut juga mengadukan George pada atasannya, Rektor Universitas Sanata Dharma, tempat George, masih mengutip koran tersebut, tercatat sebagai dosen Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya.

Di media jejaring sosial, George pun ramai jadi bahan gunjingan. Lebih-lebih ketika seorang aktivis menulis status di Facebook bahwa ia dan teman-temannya usai menggerudug rumah kontrakan George. Mendapati George tak di rumah, bunyi status tersebut, mereka menitipkan tiket bus Joglosemar jurusan Jogja-Semarang kepada ketua RT setempat. Mereka mengusir George dari Jogja!

Lucu tenan. Hooh, marai wetengku bangka. Guluku tengeng nyangka cangkem nyekakak. Gerrrrr…

Apa sebab saya tertawa? Sebab, lucu sekali. Hanya gara-gara bedes, munyuk, saja kok mbanyaki. Bedes adalah sebutan orang Jawa Timur untuk kera, sedang orang Jogja menamai saudara tuanya ini munyuk. Banyak adalah bahasa Jawa angsa/soang. Mbanyaki berarti panik seperti angsa. Bukankah mestinya kita menyayangi binatang, termasuk kera dan angsa?

Sebagai orang Jogja, saya tersinggung. Eits… eits… eits… kalau tersinggung berarti saya boleh mengusir orang yang membuat saya tersinggung? Lalu, teman orang yang saya usir itu tersinggung, gantilah saya diusir. Waduh, Jogja jadi kota usir-mengusir dunk… Padahal setau saya, hanya sopir andong yang boleh mengusir (Kalau nggak mudeng gojegan kere ini, jangan tersinggung ya).

Saya tidak membela George. Saya bukan teman George, walau pernah direpotkan oleh kejahilannya “menghilang dari peredaran” usai bikin heboh menerbitkan buku Gurita Cikeas, tahun lalu, saat saya masih bekerja di perusahaan yang menerbitkan bukunya itu. Meski tak terlibat dalam pengerjaan bukunya, termasuk menyunting sekali pun, saya mesti meladeni teman-teman media yang memburu pernyataannya. Obat penenang datang dari beberapa koleganya, “Dia biasa begitu. Bikin heboh, lalu menghilang.” Oh, saya pun tertawa masam. Saya memaklumi.

Saya juga tak membela keraton. Saya bukan kerabat Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Saya hanya warga Jogja kebanyakan, yang menghormati keraton sebagai alas dan payung kejogjaan saya. Lagipula, untuk apa keraton dibela? Di umurnya yang sudah sekian abad, keraton Jogja sudah terbukti mampu melewati banyak onak, baik busur kata maupun senjata baja. Dan onak beracun saja yang dihadapi.

Keraton Jogja itu entitas besar. Tak akan berkurang kebesarannya hanya oleh olok-olok George—tapi akan merosot kebesarannya kalau tidak menuntaskan kegusaran rakyat yang didiskusikan di forum itu. Tak perlu pula membela keraton secara berlebihan. Apalagi nama Jogja melekat di sini. Jogja itu bangsa besar, berhati besar. Sebaiknya tetap menggunakan cara-cara besar untuk menyelesaikan perkara, walau untuk perkara kecil ini.

Bukan dengan cara mengusir. Mengapa? Nanti bisa “salah kedaden”. Sebab, setahu saya, yang biasa mengusir itu aparat dinas kependudukan, untuk warga yang didapati tidak punya KTP. Atau kementerian luar negeri untuk warga asing yang tidak mengantongi dokumen resmi masuk ke negara kita—deportasi.

Santai saja, dab. Seperti waktu SBY datang ke Jogja jagong manten anak ragil Sultan HB X tempo hari, kita kan juga tidak nggrudug Gedung Agung dan mengusir sang presiden kan? Padahal, sikap SBY terhadap keistimewaan DIY, termasuk ucapan populernya soal “republik bukan monarkhi” kurang nylekit seperti apa? Hiks, toh SBY sendiri memilih bergaya raja, dengan pakaian adat Jogja, ketika mantu. Ndagel matikel-tikel to?

Menurut saya, sebaiknya hati rakyat Jogja tetap seluas samudera, sebagaimana Jogja berhalamankan Laut Selatan. Samudera itu menerima apa pun. Badai. Hujan. Lahar Merapi dan sampah-sampah rumah tangga yang mengalir lewat sungai-sungai. Juga ludah orang yang berenang di pantai. Samudera tetap legawa, tetap asin.

Maka, kita tidak perlu kebakaran George-got—maaf George, namamu kuplesetkan sebagai jenggot!

Selamat berhari Minggu. Everyday is Santai in Jogja…

Jog-George-keraton, 4 Desember

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@solusiide.com]

 

Foto diambil dari sini.

Guru Samino

19 Comments

Samino, Mister Yes! Yes, Berdikari! Foto: Kelik Broto

Begitu ingat bahwa hari ini Hari Guru, saya bersegera menulis. Sebagian besar guru berkesan bagi saya. Kesan kagum, tentu saja. Kagum akan kesederhanaan mereka, kagum tentang keteguhan hati mereka, kagum akan kebijaksanaan mereka. Beberapa sudah saya tulis di blog ini. Dan saya tak pernah bosan untuk menulis tentang mereka. Guru, inspirasi yang tak pernah kering.

Kali ini, saya ingin menulis tentang salah satu sosok guru yang fenomenal. Namanya Samino. Ia guru mata pelajaran Sejarah di SMA Kolese de Britto. Masih hidup, dan semoga panjang usia.

Samino guru yang bersahaja. Penampilannya tipikal guru-guru sekolah pedesaan yang kerap ditayangkan televisi Jakarta: berbaju batik, kadang safari, celana kain, dan bersepeda motor “CB” (Honda). Rambut ikalnya mulai menipis. Botaknya makin melebar. Selebar itu ia hadir di hati saya, juga di hati teman-teman yang pernah diajarnya.

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.

Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

Pernyataannya sangat memerahkan kuping. Seolah, berprestasi sebaik apa pun jika masih jadi karyawan tiada berartilah prestasi itu. Padahal, banyak perusahaan menjadi besar karena kerja keras para karyawannya; banyak pemilik perusahaan yang bisa ongkang-ongkang sepanjang hari tanpa risau soal hidupnya.

Saya pun teringat pelajaran Sejarah yang dibawakannya. Samino bukan guru biasa. Ia tak mengajar seperti guru-guru yang mengejar jam tayang. Teks pelajaran yang termaktub di panduan pengajaran seolah ia abaikan. Ia nyaris tak pernah mengajar sambil membuka buku pelajaran, apalagi bertindak bodoh menyuruh salah satu murid menyalin isi buku ke papan tulis. Samino mengajar lewat bercerita. Ia mengajar secara kritis. “Mbok dinalar, Le. Masa Indonesia merdeka gara-gara bambu runcing. Apa iya dengan bambu runcing para pejuang bisa ngogrok-ogrok helikopter hingga jatuh?” ujarnya suatu ketika saat membicarakan soal perlawanan 10 November di Surabaya.

Lalu?

“Indonesia merdeka karena diplomasi,” tegasnya tanpa bermaksud meremehkan arti perjuangan fisik. Samino hanya ingin meluruskan sejarah versi penguasa yang terlalu mengagung-agungkan perjuangan bersenjata, perjuangan tentara, sebagai faktor utama kemerdekaan republik. Ia mengajak kami berpikir secara cermat, dan bersikap secara kritis.

Sayangnya, dalam hal tertentu, cara mengajar yang demikian merepotkan kolega dan sekolah. Bagaimana tidak. Menurut cerita seorang guru yang pernah menjabat sebagai salah seorang direksi, nilai mata pelajaran Sejarah beberapa siswa kerap tidak tuntas karena materi yang disampaikannya di kelas berbeda atau tidak selesai. Lucunya lagi, sebagai guru generasi “mesin ketik”, Samino juga enggan naik kelas untuk sekadar belajar komputer. Alhasil, nilai siswa yang semestinya langsung dimasukkan ke program komputer, olehnya hanya diketik manual dan diserahkan ke bagian tata usaha. Ia enggan menyesuaikan zaman.

Toh begitu, saya punya kesan khusus akan sikap dalam memaknai bekerja. Menjadi karyawan, jika kemudian hanya membawa kita menjadi babu, budak suruhan, betapa hinalah kita. Ia melihat, potret karyawan pada umumnya demikian, nyaris tidak memiliki kemandirian sebagai pribadi.

“Berdikarilah!” pintanya menirukan ajakan Bung Karno, tokoh Republik yang ia kagumi. Semasa Orde Lama, Republik memiliki harga diri tinggi di tengah pergaulan internasional. Bung Karno berdiri gagah sebagai pemimpin bangsa yang berdaulat. Ia berpidato lantang sebagai pemimpin rakyat yang disegani. Bung Karno menolak campur tangan asing untuk keberlangsungan hidup negerinya. Bung Karno berprinsip, walau miskin namun punya harga diri. Ia yakin, walau miskin, rakyatnya mau bekerja. Tanpa pamrih, untuk republik.

Prinsip itu pulalah yang ia lekatkan pada semangat berwirausaha. Pada siswa yang mau berdikari, membuka usaha sendiri, ia menemukan pribadi yang berharga. Walau siswa itu miskin karena kemandiriannya, ia melihat kemegahan. Sebab, bukan soal status sosial yang menentukan posisi sosial seseorang, melainkan cara orang tersebut memperjuangkan hiduplah yang membuatnya disemati status sosial tertentu.

Menoleh ke kanan dan ke kiri, saya menjumpai kegelisahan pada diri teman-teman yang sama-sama pernah menimba ilmu dari sang guru ini. Pada mereka, tumbuh semangat berdikari yang kuat. Saat bekerja sebagai karyawan, semangat itu kerap berbenturan dengan sistem yang sudah berjalan. Beberapa memilih menyiasati benturan itu, beberapa yang lain memilih meninggalkannya untuk benar-benar berdikari, bikin usaha sendiri, menciptakan pekerjaan sendiri.

Rasanya menggetarkan melihat teman-teman berani mengambil keputusan seperti itu. Madeg dewe! Terima kasih Guru.

Selamat Hari Guru!

Jogja, 25 November 2011

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@solusiide.com]

Foto Samino pinjam dari sini.

Romo Nio Pulang ke Surga

Leave a comment

Romo Nio, kanak-kanak yang bercita-cita jadi imam.

In Memoriam: Antonius Devid Febriano WL (18 Februari 2008 – 27 September 2011)

 

Nio, sahabat kecil saya, berpulang 7 hari lalu. Baru semalam saya menitikkan air mata. Bukan karena semata-mata sedih yang tersamar, melainkan haru bahagia. Bagaimana tidak, perayaan semalam dihadiri oleh teman-teman sekolah minggu Nio. Mereka penuh semangat bernyanyi untuk sahabatnya. “Give Thanks,” lagu yang mereka bawakan.

Give thanks
with grateful heart
give thanks
to the holy one
give thanks
for He’s given
Jesus Christ, His Son

And now let the weak say
I am strong
let the poor say
I am rich
because of what
the Lord has done
for us

Give thanks…

 

Teman-teman mendoakan Nio

Tak urung, mereka sesenggukan. Pecah tangis itu. Rupanya, kenangan bersama Nio sudah melekat dalam ingatan mereka. Maklum, dua hari sebelum meninggal, Nio masih sekolah minggu. Sehari sebelum meninggal, mengenakan seragam baru, Nio masih sekolah. Mungkin mereka terlibat dalam permainan seru hari-hari itu. Dan, paham bahwa kebersamaan itu tak mungkin lagi mereka rangkul, jebollah air mata mereka. Seluruh umat yang hadir pun tak kuasa berpura-pura tegar. Sekonyong-konyong, dari depan sampai belakang terdengar suara hidung sedang beradu gesit mengendalikan ingus. Senyap, selain nyanyian yang terbata-bata.

 

Teman-teman sekolah mengantar Nio ke makam

Ternyata Nio begitu mengesan bagi teman-temannya. Mungkin karena Nio paling muda di antara mereka, belum 4 tahun. Mungkin karena tubuh Nio yang super gemuk. Mungkin karena omongan Nio yang cadel dan tak mudah dimengerti. Mungkin karena Nio yang lucu, yang jika capek bersekolah tidak mengamuk melainkan pamit gurunya untuk undur diri. Ia masih 3 tahun 7 bulan ketika ratusan teman satu sekolahnya berjalan kaki mengucapkan salam perpisahan di Senin siang itu, 27 September 2011.

 

Nio ingin menjadi imam, terinspirasi Om Romo Mali CSsR, sahabat keluarganya. Tempo hari, saat kami mengajaknya berjalan-jalan ke Show Room Penerbit Kanisius, ia antusias sekali mengenakan jubah+kasula ukuran anak-anak. Seperti adatnya bersama teman-teman di gereja, ia pun luwes memeragakan bagaimana memimpin ekaristi. Aku memotretnya untuk banyak adegan yang dengan suka cita ia lakonkan.

 

Lemah jantung menjadi lantaran baginya pulang ke surga sebelum ia benar-benar jadi romo. Ah, tak mengapa, toh ia sudah pernah jadi romo dalam rekaman lensa. Berangkat ke surga, ia mengenakan baju batik, baru kelar dijahit, untuk merayakan Natal nanti sejatinya. Berkudung blangkon, cah Jawa berbapak Ambon ini memahkotai diri menuju surga, menyusul Eyang Kakung Antonius Sumawardi yang telah berangkat 150 hari lalu, juga mengejar Lamafa Beding, kakak sepupunya, yang 100 hari lalu juga kembali ke alam baka.

 

Nio seperti tahu akan hari kepergiannya. Sehari sebelum wafat, ia bilang ke Mama dan Uti-nya, “Besok, Papa Ona, Mama Ni, dan Om Unto ke sini, antar Nio ke makam sewu naik Bembem trus alan-alan.” Papa Ona dan Mama Ni adalah pakde-budenya. Unto adalah saya. Bembem adalah sebutannya untuk mobil, mungkin merujuk pada suara kendaraan roda empat itu. Keluarga mengira bahwa keinginannya ke makam sewu adalah untuk tabur bunga di pusara kakek-kakaknya. Ternyata, Bembem yang mengantarnya adalah ambulans jenazah.

 

Keluarga pun tak berfirasat ketika sepuluh hari belakangan Nio gandrung banget menyanyikan refrain lagu ini:

 

Dia kubangkitkan

Dia kubangkitkan

Dia kubangkitkan… di akhir zaman…

 

Nio, ternyata kamu yang bangkit. Ke surgalah Nak. Maafkan Om Kunto atas utang janji mengantarmu ke Alun-Alun Kidul naik Bembem kayuh kerlap-kerlip. Pasti ada Bembem yang lebih meriah di arwana.

 

Yogyakarta, 3 Oktober 2011

AA Kunto A [http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Sedekah untuk Mas Trubus

Leave a comment

sedekah dari hamba AllahSiang ini saya kembali menengok Mas Trubus, tetangga saya yang Senin (19 September 2011) pukul 14.00-20.00 wib kemarin menjalani operasi tulang belakang di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ada amanah yang harus segera saya sampaikan. Satu amplop sedekah kiriman Mas Saptuari, bos Kedai Digital. Seorang pembaca blognya menitipkan uang untuk meringankan beban Mas Trubus.

Tempo hari saya memang mengirimkan email kepada Mas Saptu supaya membantu saya mencarikan saudara yang berkenan menyumbangkan dana untuk operasi Mas Trubus. Saya juga mengirim surat senada kepada beberapa sahabat. Tak satu pun surat saya ajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, alih-alih, pemerintah. Juga, saya tak berkirim surat kepada calon walikota Yogyakarta supaya tak ada yang berebut sorot kamera mengulurkan bantuan demi mendongkrak popularitas.

Hari ini sebuah jawaban datang. Saya bergegas meneruskan jawaban itu kepada keluarga Mas Trubus.

Siapakah Mas Trubus?

darah kehidupan ini semoga menyegarkannya kembali

Dia tetangga saya. Beda RT, satu RW. Namanya hanya Trubus. Tidak ada nama panjangnya. Usianya 50 tahun. Pekerjaan sehari-hari tukang batu. Tak hanya itu. Senyatanya, ia mau mengerjakan apa saja yang ditugaskan padanya. Seperti Jumat, 16 September 2011 lalu. Usai Shalat Jumat, ia diminta “nutuh” (memangkas) sebuah pohon di halaman Masjid Al Muhajirin, Perum Pamungkas, Jl Kaliurang Km 14. Tak seorang diri, ia mengajak Mas Jiman, tetangganya, untuk membantu. Mas Jiman mengawasi di bawah, Mas Trubus memanjat.

Dengan tangga ia memanjat. Satu dahan sudah berhasil ia gergaji ketika beralih ke dahan lain. Menurut pengakuannya, saat memangkas dahan kedua itu sekonyong-konyong ada angin kencang. Badannya yang kecil terayun bersama dahan. Naas, dahan itu patah. Getas rupanya. Ia terhempas dari ketinggian 4 meter di permukaan cor semen.

Oleh takmir masjid setempat, Mas Trubus dibawa ke seorang tukang pijit di Jalan Magelang. Kata tukang pijit itu, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, mengingat vitalnya tulang belakang, tetangga-tetangga yang menyambut di rumah usai pemijatan mengusung Mas Trubus ke RS Panti Nugroho, Pakem, untuk rontgen. Hasilnya, ada satu ruas tulang belakangnya yang patah. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah operasi. Jika tidak, kelumpuhan mengancam.

Mas Trubus dirujuk ke RS Panti Rapih, Sabtu sore, setelah menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan. Satu-satunya hal yang memberatkannya adalah besarnya biaya operasi sebesar Rp 17,5 juta, belum termasuk pengobatan usai operasi. Sebagai buruh harian lepas, dari mana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Asuransi kesehatan (jamkesmas) yang mestinya ia miliki pun tiada. Dan ternyata, di kampung, beberapa warga miskin lain tak memiliki jamkesmas yang meringankan mereka saat sakit. Entah kelalaian atau kesengajaan, warga miskin itu terabaikan. Kasus ini menjadi cermin dari potret negara yang gagal menjamin hak kesehatan warganya.

Syukurlah, di mata kami, tetangga-tetangganya, deposito kebaikan Mas Trubus begitu melimpah. Selain tekun, hasil pekerjaan selalu bagus, tak pernah “nembung” bayaran, ia juga jujur. Jika bekerja, ia selalu melebihi kewajibannya. Datang pagi sekali, pulang menjelang maghrib. Jika belum tuntas, ia tak segan kembali ke tempat kerja usai menunaikan shalat.

Mas Trubus juga “gemi”. Sepersetujuan tuan rumah yang mempekerjakannya, barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dibawanya pulang. Keramik cuil, closet bopeng, genting pecah, dirawatnya, dipakai ulang. Ia membangun sendiri rumahnya dari material-material yang terbuang. Mengingatkan kita pada sosok Romo Mangun, yang menyulap barang bekas menjadi bangunan berkelas.

Mbak Wasi dan suaminya, Mas Trubus, menerima amanah dari hamba Allah

“Sing penting mari!” begitu kami mendorongnya untuk maju operasi. Soal biaya, bisa dicari. Ya, sekarang kami sedang mencarikan. Pertama-tama dari kantong kami sendiri. Selanjutnya mengetuk hati sedulur-sedulur. Takmir dan jamaah Masjid Muhajirin sangat baik, mereka pun sanggup membantu. Beberapa “klien” yang rumahnya pernah digarap Mas Trubus pun mengabarkan akan urun biaya.

Dari kantong kami sendiri? Hmmm, Allah sedang mencintai kami dengan cara yang luar biasa. Dalam beberapa bulan ini silih-berganti warga kami masuk rumah sakit dengan sakit yang tak tergolong ringan. Kami yang sebagian besar adalah petani penggarap ladang pun sedang diberi rejeki seret panen karena sawah yang kering kerontang. Syukurlah, kerukunan menyatukan kami untuk tidak berputus asa. Satu kaki sakit, kaki lain menopang.

Saat ini Mas Trubus dirawat di Bangsal Elisabeth 115B Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Untuk Anda yang terketuk hati hendak turut bersedekah, silakan langsung menemui keluarga di sana.

Yogyakarta, 20 September 2011

Salam hangat,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Ada yang Beda, Hati Kita

2 Comments

Mbah Mulyowiyono dan Mbah Kismorejo, kakak beradik

Begitu-begitu saja. Datang, mengisi buku tamu, bersalaman dengan penerima tamu, makan, duduk, ngobrol, mendengarkan sambutan dan petatah-petitih, sungkem, lalu pulang. Sedari saya kecil, acara syawalan Trah Pawirodikromo nyaris tak pernah berubah. Formal, datar, menjenuhkan.

Kok saya tetap mau datang? Bagi saya, menjenuhkan atau tidak itu bergantung pada cara pandang dan cara menerima. Jika hati kita tidak sedang longgar, apa pun terasa hambar. Sebaliknya, jika sedang berbunga-bunga, tai kucing pun berasa coklat, begitu ungkapan ngawur yang populer itu.

Apakah saya sedang berbunga-bunga? Tidak juga. Sedang suntuk malah. Musim kemarau bukan saja telah menggersangkan pekarangan, namun juga turut menyedot sumber-sumber penghasilan. Zaman sedang susah. Saya tak kurang susah. Usaha belum berjalan seperti yang saya inginkan. Tahap merintis rupanya perlu saya lakoni jatuhnya. Bangunnya? Saya berusaha untuk mampu melakukannya.

Nyatanya, kita tak pernah sendiri di dunia ini. Baik gembira maupun susah, selalu ada orang lain yang juga gembira dan susah. Ada yang takarannya sama persis, ada yang kurang sedikit, namun banyak juga yang dosisnya lebih tinggi.

Ada saudara kita yang lebih membutuhkan

Seperti siang itu, Rabu, 31 Agustus 2011, tanggal merah kedua libur lebaran, hari pertama lebaran versi pemerintah, nubuat itu tergenapi. Ketika saya merasa susah, nyatanya ada yang lebih susah. Susah saya pun tidak lagi berguna.

“Bapak-Ibu sekalian, kami akan membagikan kotak sumbangan. Ada 2 saudara kita yang rumahnya tertimbun material erupsi Merapi. Sampai sekarang mereka belum punya rumah, masih tinggal di shelter,” Pak Santoso, paman saya, yang membawakan acara, menyampaikan pengumuman itu sesaat sebelum kami sungkem ke simbah-simbah. Aura duka merebak. Apalagi, tempat kami berhimpun tak jauh dari Sungai Gendol, salah satu sungai terparah yang dialiri lahar dingin.

Saya tidak punya uang banyak. Sudah 2 lebaran saya tidak menerima THR sejak saya memutuskan berwirausaha tahun lalu. Saya justru punya kewajiban memberi THR untuk karyawan.

Meski tak banyak, sudah berulangkali saya ikut serta dalam acara penggalangan dana untuk korban Merapi. Saya selalu ikut menyumbang. Ah, jumawa amat, batin saya. Menyumbang tak seberapa, besar kepalanya tak kira-kira. Ampun!

Saya tertegun. Faktanya, masih ada saudara yang belum punya rumah. Mereka masih berkesusahan. Tak punya rumah, tak boleh kembali ke kampung asal, kehilangan mata pencaharian, entah sampai kapan mereka wajib tinggal di barak pengungsian. Dan, mereka masih saudara saya!

Ternyata saya tak sesusah mereka. Meski masih nebeng di rumah orangtua, toh saya tinggal di rumah sendiri. Saya masih minum dari sumur sendiri, makan salah memetik di kebun sendiri, dan mengunduh sirsak dari pohon sendiri.

Meski susah karena lagi bokek, toh saya masih bisa bekerja, masih bisa menjalankan usaha, masih punya kesempatan mencari uang.

Mungkin, apa yang saya rasakan juga dirasakan saudara-saudara yang hadir pada syawalan trah siang itu. Mereka merogoh tas dan dompet lalu menyemplungkan sejumlah rupiah. Sejumlah saudara yang sejatinya juga korban pun tampak turut menyumbang.

Hasilnya tak besar, tak sebanyak nominal yang terpajang di layar MetroTV dan TV One, namun rasa kebersamaan begitu terasa. Syawalan trah kali ini beda.

Salam hangat,
AA Kunto A
[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Mudik, Cium Keringat Ibu

Leave a comment

ooo berok kecil e, jalan cepat mau cium Mama e

Aku ingin pulang padamu Lamalera

Kampung asalku di tepi samudra

O o ooooo

Biar naik berok

Dari Larantuka kota Reinha

Mama Sawu jangan marah

Bawa aku sampai selamat

Reff

ooooo

O Lefo Lamalera

Piring Matahari

O Lefo Lamalera

Anak sayang Ina Lefa

Aku rindu Mamaku

Dengan kara di atas kepala

Jalan di pagi buta ke pasar Wulandoni

O berok kecil e

Jalan cepat mau peluk mama e

O berok kecil e

Jalan cepat mau cium mama e

Ingin kulihat lagi

Lamafa ke tengah lautan

Mengambil kiriman Tuhan

koteklema yang kami tunggu-tunggu

Reff

O Lefo Lamalera

Piring Matahari

O Lefo Lamalera

Anak sayang Ina Lefa

Mengapa orang rela berjejal-jejal naik kapal?

Mengapa anak-anak dibiarkan meronta-ronta saat mengantri naik kereta?

Mengapa mereka bersuka-cita menyusur pantura, menunggang sepeda motor kreditan, berbasuh debu, bersahabat dengan lelah dan maut, setiap lebaran tiba?

Mengapa mudik? Kembali ke udik?

Apa yang mereka rindukan dari tanah udik? Tidakkah hidup mereka di rantau telah bermandikan cahaya, sementara tanah udik tanah udik miskin papa? Tidakkah tanah rantau telah memanjakan mereka menggelimangi benda-benda, sementara tanah udik masih bergelimang bebatuan?

Rupanya, ada kegalauan yang hanya bisa ditebus di tanah udik. Haus akan masa kecil yang bersahaja –huh, yang sengsara. Haus akan masa muda yang otentik –huh, yang lugu. Tanah udik, yang tertinggal di belakang peradaban itu ternyata menyimpan deposito rasa yang hanya bisa diambil saat jatuh tempo. Bau tanahnya beda dengan bau beton. Bau keringat Ibu tak terganti bau parfum.

Tanah udik, kaya sejuta rasa, kering yang melunasi dahaga. Mereka perlu pulang supaya hidup mereka di rantau kembali berkilau.

Salam udik,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Keterangan:

Ivan Nestorman, bermusik menduniakan kampung Flores

1. Lagu “Aku ingin pulang” di atas diciptakan dan dinyanyikan oleh Ivan Nestorman, musisi asal Manggarai, Flores, yang tinggal di pinggiran Kali Malang, Jakarta Timur. Sedang dalam proses rekaman, dan akan disertakan dalam buku tentang Lamalera yang akan segera diterbitkan.

2. Lamalera adalah kampung (lefo) nelayan di ujung timur Flores. Perlu menyeberang laut Sawu dari Larantuka ke Reinha, menumpang perahu (berok) untuk menjangkau kampung berbendera merah-putih yang belum terjangkau listrik dan sinyal telepon selular itu. Kampung ini terkenal dengan tradisi penangkapan ikan paus (koteklema) yang dipimpin oleh seorang lamafa. Wulandoni adalah nama pasar tradisional yang masih mempertahankan pertukaran barang dengan barang (barter) dalam bertransaksi.

Gambar sampan dipinjam dari sini.

Gambar Ivan Nestorman dicuplik dari sini.

Sungkem, Caos Sembah Pangabekti

Leave a comment

kaleburna ing dinten riyadi punika

Lebaran identik dengan tradisi sungkem. Usai shalat Ied, yang muda sowan kepada yang wreda, yang murid sowan kepada yang guru. Datang membungkuk, melangkah sambil berjongkok, atur sembah lalu bersimpuh di lutut, untaian kata-kata mengalir dari bibir.

Usai itu, yang disowani ganti bicara. Kedua tangan ditumpangkan di bahu yang sowan bersimpuh. Lalu peluk-cium. Lega.

Apa isi adegan itu? Sekadar meminta maafkah? Sekadar memberi maafkah?

Dalam tradisi Jawa, dialog yang bertukaran di peristiwa sakral itu berbunyi demikian:

Kula sowan wonten ing ngarsanipun Ibu

Sepisan, caos sembah pangabekti

mugi katur ing ngarsanipun Ibu

Ongko kalih, mbok bilih wonten klenta-klentunipun

atur kula saklimah

tuwin lampah kula satindak

ingkang kula jarag lan mboten kula jarag

ingkang mboten ndadosaken sarjuning panggalih

Mugi Ibu kersa maringi gunging

samodra pangaksami

Kula suwun kaleburna ing dinten riyadi punika

Lan ingkeng putra nyuwun

berkah saha pangestu

Saya datang menghadap Ibu

Pertama, menghaturkan sembah sujud

semoga diterima Ibu

Kedua, apabila ada kekeliruan

ungkapan saya sepatah

serta tindakan saya selangkah

yang saya sengaja maupun tidak saya sengaja

Yang tidak berkenan di pikiran dan perasaan

Semoga Ibu mau memberi maaf

sedalam, laksana samudera

Saya berharap lebur di hari raya ini

Dan saya mohon doa restu

Sejurus kemudian, yang disungkemi akan membalas lembut. Biasanya sambil membungkuk-merengkuh:

Semono uga aku, wong tuwa

uga akeh klera-klerune

Kowe uga ngagungna pangapura

Ora luwih, kowe bisaa

kabul kang dadi ancas

lan dadi gegayuhanmu

Ora luwih, aku wong tuwa

mung bisa ndedonga marang Pangeran

Iya, kowe dak pangestoni

Demikian pula aku, orangtua

juga banyak kekeliruan

Kuminta kamu memaafkan

sedalam, laksana samudera

Tidak lebih, semoga kamu dapat

terkabul apa yang menjadi hasrat

dan menjadi harapanmu

Tidak lebih, aku orangtua

hanya bisa mendoakan pada Tuhan

Ya, kamu kurestui

Sebelum meminta maaf, memberi hormat. Sesudah meminta maaf, memohon berkat. Betapa indah Idul Fitri.

Salam hangat,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Gambar sungkem dipinjam dari sini.

Perkara Jawa-Cina

4 Comments

jawa-cina, karya agung

Soal identitas Jawa-Cina kembali diperkarakan Donny Verdian di blog-nya. Entah gerangan apa yang menyulutnya mendudah bincangan lawas ini. Saya tak menemukan pemantik selain bahwa tulisan tersebut dihidangkan untuk bingkisan ulang tahun ke-63 almamaternya, SMA Kolese de Britto, yang juga almamater saya, yang belakangan sedang berkubang dalam sekam pertikaian.

saya bocah gunung, melarat pula

Saya usai membaca kembali Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, 12 tahun sepeninggal penulisnya, ketika topik renta ini berkelebat di layar laptop. Pengakuan Pariyem bertutur tentang “dunia batin seorang wanita Jawa” sebagaimana termaktub di sub judul buku legendaris yang kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini. Prosa lirik ini pertama kali diterbitkan tahun 1981 oleh Penerbit Sinar Harapan, dan pertama kali saya baca sekira tahun 1998, saat-saat kuliah sosiologi di kampus Bulaksumur lebih banyak saya tinggalkan untuk ikut-ikutan demonstrasi sana-sini, usai wartawan Kompas Hariadi Saptono memperkenalkan saya pada sastrawan kelahiran Kadisobo yang setahun sesudahnya mati itu—dan saya belum jadi mengenalnya.

More

Older Entries