Sungkem, Caos Sembah Pangabekti

Leave a comment

kaleburna ing dinten riyadi punika

Lebaran identik dengan tradisi sungkem. Usai shalat Ied, yang muda sowan kepada yang wreda, yang murid sowan kepada yang guru. Datang membungkuk, melangkah sambil berjongkok, atur sembah lalu bersimpuh di lutut, untaian kata-kata mengalir dari bibir.

Usai itu, yang disowani ganti bicara. Kedua tangan ditumpangkan di bahu yang sowan bersimpuh. Lalu peluk-cium. Lega.

Apa isi adegan itu? Sekadar meminta maafkah? Sekadar memberi maafkah?

Dalam tradisi Jawa, dialog yang bertukaran di peristiwa sakral itu berbunyi demikian:

Kula sowan wonten ing ngarsanipun Ibu

Sepisan, caos sembah pangabekti

mugi katur ing ngarsanipun Ibu

Ongko kalih, mbok bilih wonten klenta-klentunipun

atur kula saklimah

tuwin lampah kula satindak

ingkang kula jarag lan mboten kula jarag

ingkang mboten ndadosaken sarjuning panggalih

Mugi Ibu kersa maringi gunging

samodra pangaksami

Kula suwun kaleburna ing dinten riyadi punika

Lan ingkeng putra nyuwun

berkah saha pangestu

Saya datang menghadap Ibu

Pertama, menghaturkan sembah sujud

semoga diterima Ibu

Kedua, apabila ada kekeliruan

ungkapan saya sepatah

serta tindakan saya selangkah

yang saya sengaja maupun tidak saya sengaja

Yang tidak berkenan di pikiran dan perasaan

Semoga Ibu mau memberi maaf

sedalam, laksana samudera

Saya berharap lebur di hari raya ini

Dan saya mohon doa restu

Sejurus kemudian, yang disungkemi akan membalas lembut. Biasanya sambil membungkuk-merengkuh:

Semono uga aku, wong tuwa

uga akeh klera-klerune

Kowe uga ngagungna pangapura

Ora luwih, kowe bisaa

kabul kang dadi ancas

lan dadi gegayuhanmu

Ora luwih, aku wong tuwa

mung bisa ndedonga marang Pangeran

Iya, kowe dak pangestoni

Demikian pula aku, orangtua

juga banyak kekeliruan

Kuminta kamu memaafkan

sedalam, laksana samudera

Tidak lebih, semoga kamu dapat

terkabul apa yang menjadi hasrat

dan menjadi harapanmu

Tidak lebih, aku orangtua

hanya bisa mendoakan pada Tuhan

Ya, kamu kurestui

Sebelum meminta maaf, memberi hormat. Sesudah meminta maaf, memohon berkat. Betapa indah Idul Fitri.

Salam hangat,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]

Gambar sungkem dipinjam dari sini.

Berlebaran di Kampung

Leave a comment

Ini lebaran pertama bersama istri. Ada perbedaan tradisi di antara kami soal cara merayakan hari kemenangan umat Islam ini. Karena terlahir di keluarga yang berada di garis “tua”, maka istri saya terbiasa dikunjungi saudara-saudara. Ia menjadi tuan rumah.

Beda dengan saya. Saya terlahir di antara dua garis itu. Di pihak bapak, kami “tua”. Di pihak ibu, kami “muda”. Tapi, lepas dari tua atau muda, kami dibiasakan untuk berkunjung ke rumah saudara. Ya ke yang tua, ya ke yang muda, kami sambung tali silaturahmi.

Seperti lebaran ini.

Saya ajak istri berkunjung ke tetangga kiri-kanan. Menurut data, ada 130 rumah di lingkungan kami yang wajib kunjung. Lemes istri saya, tidak bisa membayangkan capeknya. Untunglah, di antara sekian banyak rumah itu, sebagian adalah keluarga muda. Biasanya rumah mereka kosong. Entah ditinggal mudik, entah “tutup pintu”. Alhasil, kami tidak perlu mendatangi semua.

Toh, itu tak serta-merta melegakan kami. Siang yang begitu terik di lebaran hari pertama, memaksa kami untuk memicingkan mata, menahan sinar matahari, dan bersahabat dengan debu yang beterbangan di sepanjang jalan yang kami lalui. Kami berjalan kaki di paruh pertama. Baru di paruh kedua kami pulang dan mengambil motor. Seperti dipanggang rasanya.

Kebiasaan baru untuk istri saya. Terlebih rumah tetangga yang tua-tua kami kunjungi. Rute kami: Pakde Zaini, Mbah Paidi, Mbah Sakijo, Pakde Bejo, Mbokde Suto, Mbah Yoga, Pak Dukuh, Mbah Mitro, Mbah Joyo, Mbah Min, Mbah Ranto…. Pakde Endro, Pakde Heni, Pakde Gito, Pakde Sudi, Pak Kamsi, Pak Ponijo, Pakde Prapto, Mbah Kaum, Mbah Dirjo… Itu hanya sebagian.

Mbah Sakijo depan rumah kami. Rumahnya beralaskan tanah, tak punya WC dan kamar mandi. Ia menggelar tikar. Suguhan favoritnya adalah tape ketan dan emping. Ini kesukaan saya. Tapi, karena baru keluar rumah, dan perut saya masih penuh, saya tak menyantapnya. Baru di rumah Mbah Min, kakaknya, di ujung kampung sana, saya melumat tape lezat seperti itu.

Bersilaturahmi di kampung selalu menjadi saat-saat yang menggetarkan bagi saya. Sembari uluk salam, “Matur Mbah… sowan kula ingkang sepisan minangka bekti kaliyan panjenengan. Ingkang kaping kalih nyuwun agunging samudra pangaksami awit klenta-klentu kula salebetipun setunggal tahun punika. Lan ingkang kaping tiga, nyuwun pangestu mugi-mugi Gusti ngijabahi gegayuhan kula sa’ brayat…”, saya bisa mendengarkan denyut jantung mereka yang syarat akan pengalaman hidup.

Sebagian besar tetangga saya adalah saudara. Masih ada hubungan kekerabatan dari garis nenek. Sebagian besar dari mereka petani. Miskin, meski mereka merasa berkecukupan. Kendaraan mereka sepeda, meski anak-anak mereka kemlinthi bermotor.

Dari mereka saya selalu menyerap energi kehidupan. Tentang kerja keras, kesederhanaan, ketabahan, bersahabat dengan alam yang keras, dan pasrah kepada penyelenggaraan Ilahi.

Dari mereka saya bercermin, betapa hidup ini selalu layak untuk disyukuri. Betapa pun sulitnya.

Semangat-semangat itu yang hendak saya kenalkan kepada istri saya. Supaya ia makin siap hidup di kampung, di antara baru, di antara baja. Kami ingin tangguh seperti mereka.

Semoga tahun depan kami masih boleh menatap keriput wajah mereka, menatap bahu perkasa mereka, dan berjabat tangan erat-erat… Bercengkerama lagi di atas daun pandan, ditemani tape ketan dan emping melinjo…