Saya sedang belajar bertanya. Bukan untuk mencari jawaban, dan apalagi kepuasan. Bukan pula untuk mengafirmasi jawaban yang saya punya dengan kemungkinan jawaban akibat pertanyaan itu.

Dan ternyata bertanya itu tidak selalu mudah. Saya sempat mengira, sebuah pertanyaan yang sulit, yang membuat orang sudah untuk menjawab, adalah pertanyaan yang bagus. Sebaliknya, pertanyaan yang hanya bikin orang tertawa, tanpa menjawab, atau menjawab sekenanya, atau menjawab dengan gampang, tidak bisa disebut sebagai pertanyaan yang baik.

Pertanyaan-pertanyaan yang sedang saya pelajari adalah sederet kata yang bisa mendongkrak imajinasi, jauh daripada sekadar menyingkap ingatan. “Kenapa”, bukan “apa”. “Kenapa” mengajak berpikir, sedang “apa” sekadar menyortir. Tentu saya lebih bergairah untuk berpikir ketimbang menyortir.

“Kenapa” adalah pisau yang sangat tajam jika diasah. Daya imajinasi pertanyaan ini sungguh luar biasa. Ia bisa mengupas masa depan, menguliti sesuatu yang abstrak sekalipun. Banyak pemikir dunia yang diantarnya ke padang persemaian wawasan yang maha luas. Dunia ber-revolusi berkat gugatan-gugatan yang menolak menerima keadaan semata sebagai keniscayaan.

“Kenapa bulan tampak kecil?”

Karena jauh.

“Kenapa kita tidak mendekat supaya bulan tampak besar?”

Kenapa tidak?

Lalu manusia sampai ke bulan. Lalu manusia merevisi ilmu pengetahuan. Lalu manusia mempertanyakan hakekat hidup: kenapa?