Hidup Kedua

3 Comments

Hari ini istimewa buat saya. Setiap tahun, saya merayakannya dalam sendiri. Dalam hening. Dalam kebahagiaan yang tak terkata.

Enam belas tahun lalu, saya terhempas dari motor. Tersambar mobil yang melaju dari lawan arah. Brak! Kaki kanan saya patah. Terbujur tak berdaya di tengah jalan, saya dikerumuni para pelintas yang sedang tergesa berangkat bekerja dan sekolah. Adik saya, Santi, selamat. Ia terhempas dari boncengan saya. Dan tak luka.

Orang-orang baik menolong saya. Dengan sebuah sedan, saya diusung ke rumah sakit. Para penolong itu hendak membawa saya ke sebuah rumah sakit pemerintah. Ups, untunglah adik saya menghardik. “Ke Panti Rapih aja,” pintanya. Ada ibu yang berdinas di sana. Alhamdulillah, para penolong baik hati itu mengabulkan permintaan kami. Saya dilarikan ke RS Panti Rapih. Dan segera mendapatkan P3K. 3,5 jam lamanya saya terbaring di UGD. Para perawat, termasuk Ibu, silih-berganti menghentikan perdarahan dan menjahit luka yang menganga.

Bapak, yang segera melesat ke RS begitu mendapat kabar (waktu itu, rumah kami belum dipasangi telpon; entah siapa yang memberi kabar), berusaha menghibur dan menguatkan saya. Juga Om Mudji dan romo pamong sekolah Moerti Yoedho, SJ, yang tak kalah gesit memastikan keadaan saya.

Dokter Soeprandjono (almarhum) selalu saya ingat sebagai orang yang sangat berjasa bagi saya. Beliau satu-satunya dokter orthopedi, dari 3 yang dimiliki rumah sakit, yang hari itu berpraktek. Dalam jadwal, siang harinya, beliau mesti ke Solo untuk berpraktek ke rumah sakit orthopedi di sana. Baru Selasa minggu depan kembali ke Jogja. Dokter Prandjono memutuskan untuk menunda kepergian ke Solo demi menangani operasi tulang kaki saya.

Saya ingat, Ibu menghampiri saya di bangsal perawatan setiba saya dari UGD. Wajah Ibu menyiratkan kekhawatiran. Saya paham. Meski sudah biasa menghadapi pasien, namun kali ini pasien itu anak sendiri. Juga, meski anaknya ini tampak tegar menahan rasa sakit.

Ibu menceritakan kesediaan Dokter Prandjono mengoperasi siang itu juga. Ibu juga menggambarkan betapa parah luka yang saya alami. Kaki kanan saya lebih dari sekadar fraktur, namun remuk. “Jika tidak bisa diselamatkan, kakimu diamputasi piye Le?” tanya Ibu. Pasti karena sudah mengenal saya, Ibu selalu lugas dalam banyak hal. Termasuk saat bicara kemungkinan terburuk saya waktu itu. Mungkin hati Ibu tak sampai, namun Ibu selalu punya hati untuk menyampaikan apa pun. Dengan caranya, dengan ketegarannya.

“Nggak papa, Bu.” Saya berusaha menenangkan diri. Yang saya rasakan waktu itu adalah “untung masih hidup”, “untung hanya kaki yang patah”. Ah, saya masih merasa beruntung kala itu. Kepala tidak pusing sama sekali. Perut pun tidak mual. Lecet di siku kiri pun terasa seperti gigitan semut belaka.

Pasrah dan berharap saat itu. Pasrah jika keadaan terburuk yang terjadi. Berharap jika masih ada jalan menyelamatkan kaki kanan saya.

Teman-teman sekolah dan keluarga besar mengantar saya ke ruang operasi.

5 jam, hingga petang menjelang, operasi baru usai. Dan saya masih punya 2 kaki. Wow, girangnya saya. Tim dokter yang dipimpin Dokter Prandjono telah menempuh operasi luar biasa. Tulang kaki saya, baik tulang kering maupun tulang paha, bukan hanya dipasangi pen, melainkan “dijahit”. Kepingan tulang disatukan. Dengan ketekunan yang tulus, mereka menorehkan maha karya di hati saya.

 

Kesetiaan Keluarga, Solidaritas Teman

Nyaris sebulan saya menjalani perawatan inap di rumah sakit. Dengan kaki digantung lebih tinggi dari kepala, telentang tanpa boleh bergerak, perawatan luka saya memang harus dilakukan secara khusus. Makan di tempat tidur. Beol dan kencing juga di tempat tidur. Juga mandi dan tidur. Bahkan, menerima komuni setiap petang juga di situ.

Bangsal Albertus, bed pojok barat daya. Sekamar isi enam, semua patah tulang. Untung perawatnya muda-muda dan cantik, baik hati dan suka menolong pula, sehingga siang-malam berlalu dengan cepat.

Hari-hari tak pernah berlalu dalam sepi. Selalu saja ada yang berkunjung. Selalu ada yang menghibur. Selalu ada yang mendoakan. Ya keluarga, ya teman. Setiap malam ada yang menemani, setidaknya meladeni minum kala haus, atau mendengarkan rintihan kala ngilu menghampiri saya. Kesetiaan mereka membekas betul di hati.

Dan jika mencela adalah pujian dalam rupa yang khas, itulah hadiah dari teman-teman sekolah. Setiap hari, sepulang sekolah, atau sore sepulang ekskul, selalu ada yang mem-bezoek saya. Buah tangan yang setiap hari mereka kirim adalah buku atau fotokopi pelajaran hari itu. “Yang sakit kan kakimu, Kun. Otakmu kan waras. Nih dibaca!” Alhasil, meja samping tempat tidur saya tidak dipenuhi buah atau oleh-oleh makanan lazimnya di rumah sakit, tapi setumpuk catatan. Teman-teman berharap agar saya tidak tertinggal kelas.

Benar saja. Ketika kenaikan kelas tiba, saya bisa naik meski dengan nilai pas-pasan.

Berkat teman-teman yang begitu perhatian, saya tidak menjadi anggota VOC, sebutan untuk sekelompok teman yang tinggal kelas. Sekelompok? Ya. Dari 6 kelas paralel, jika dikumpulkan, satu kelas sendiri terpaksa mengulang atau drop out. Tidak selalu karena bodoh. Kadang karena pergaulan yang keliru, atau strategi belajar yang sekenanya mereka tergelincir.

Karena kecintaan teman sekelas, yang semua laki-laki, pada saya, mereka melecut saya sedemikian rupa. Saat masuk sekolah, dua bulan setelah peristiwa kecelakaan itu, secara bergantian mereka mengontrol kemampuan saya mengejar ketertinggalan materi. Sesuai kepintaran masing-masing, saya diajari hal-hal yang saya belum mudeng. Tak hanya itu, sepulang sekolah, mereka menyediakan diri mengajari saya di kost.

Pun guru. Secara sukarela, saban sore hingga malam, mereka membuka kelas-kelas matrikulasi. Siapa pun boleh ikut, dan gratis. Dengan cara khas, mereka mengingatkan saya bahwa tidak ada belas kasihan sedikit pun pada saya. Meskipun sakit, kalau nilai saya jelek, angka 4 di rapor tak segan mereka torehkan. Dan terjadi. Rapor saya semester 1 dihiasi oleh beberapa angka merah, yang, syukurlah, terbayar lunas di semester 2.

Saya mengingat mereka semua. Saya berterima kasih atas cambuk yang pedas itu. Tahun-tahun sesudah itu adalah hidup saya yang kedua, hidup yang selalu saya bungkus dengan rasa syukur. Ad Maiorem Dei Gloriam.

 

5 November 1993, Titik Balik Hidup

2 Comments

Makasih buat temen-temen Kelas I-6 dan kelas-kelas lain SMA Kolese de Britto angkatan 1996: Setiawan Chandra, Probo Sidhi Asmoro, Ario Nirmolo, Alex Vitadi, Robby Cahyadi, Rudi Chinmi, Anang, Mister Untu, Robert, Eko Put, ….

Lima belas tahun sudah peristiwa itu terjadi. Saya terkapar di jalan raya setelah dihajar mobil dari depan. Hendak berangkat sekolah ketika itu, pagi 5 November 1993. Baru kelas 1 SMA Kolese de Britto.

Motor saya Suzuki RC 100 ringsek. Mesin pecah, bodi lumat. Kaki saya tak kalah ajurnya. Kaki kanan remuk tulang keringnya. Tulang paha juga patah. Yang lain utuh. Saya tersadar, adik cewek saya yang saya boncengkan tak luka sedikit pun. Aneh, sekaligus bersyukur.

Jalan Kaliurang Km 8 pagi itu menjadi riuh. Banyak orang merubung dan menolong saya. “Bawa ke Sardjito saja.” Tidak, kata saya tegas-tegas. Sardjito adalah rumah sakit daerah di Jogja. Milik pemerintah. Saya menolak dibawa ke sana. Saya ingin hidup, ujar saya memberi alasan penolakan.

Ke Panti Rapih saja. Mereka mengangguk. Saya segera diusung ke mobil sedan yang sudah mereka siapkan. Ups, pendek banget mobil itu. Saya mesti merunduk dengan kaki dijepit kayu penahan. Belum terasa sakit waktu itu.

Rasa sakit yang begitu ngilu baru saya rasakan ketika tiba di Unit Gawat Darurat RS Panti Rapih, sekira 5 km dari lokasi kejadian. Ibu saya, yang perawat di sana, dan berangkat 10 menit lebih awal dari sana, pun “menyambut” kedatangan saya yang terbaring tak berdaya. Seingat saya, ibu kaget namun tidak panik. Saya pun tidak membuat suasana tambah tegang. Semua rasa sakit saya tahan. Soal menahan rasa sakit, memang saya dikenal “jago” di keluarga. Jika tidak betul-betul sakit, saya tak pernah mengeluh, apalagi berteriak-teriak.

Tak lama, bapak datang dari rumah. Beliau berusaha menguatkan saya. Ya, saya kuat. Juga Oom Muji menyusul. Sesudahnya pamong sekolah juga datang.

Teman-teman ibu pun cekatan membantu. Toh begitu, tetap saja menghabiskan 3,5 jam untuk PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan). Syukurlah, untuk sementara, darah bisa disapih, luka bisa dijinakkan. Tapi tulang? Ia masih berantakan.

Dokter Pranjono (almarhum), ahli orthopedi terkemuka waktu itu, untunglah, bersedia menunda kepulangannya ke Solo. Di tengah jalan beliau memutuskan kembali ke Jogja. Menolong saya. Alhasil, pada Jumat Pon itu, seusai terik, saya diunggahkan ke ruang operasi. Tindakan darurat ini mesti dilakukan karena, pada saat transit, ibu sempat melontarkan pertanyaan retorik kepada saya, “Le, yen sikilmu ora isa ditulungi, diamputasi ora papa ya?” Ya, jawab saya, menegaskan jawaban batin ibu saya. Dalam benak ibu, dan saya paham, pilihan itu menjadi yang terbaik dalam situasi menyelamatkan jiwa saya.

Syukurlah. Dokter Pranjono, yang pincang karena menderita polio sejak kecil itu, telaten mengurai keporak-porandaan pecahan balung saya. Dengan tekun, beliau menjumput serpihan-serpihan tulang, menatanya sedemikian rupa, seperti menjodoh-jodohkan puzzel, hingga selamatlah kaki saya dari akhir yang terpisah.

Operasi penyelamatan sebelah kaki ini tak kurang lamanya. Menjelang petang barulah tubuh lunglai saya dicomot dari ruang bedah. Pengaruh bius tentu saja masih ada. Hmm, maka saya tak ingat betul berapa banyak saudara, teman, sahabat yang menunggu di luar. Yang saya ingat, malam sesudah itu menjadi malam yang begitu panjang untuk saya. Sepergi pengaruh bius, rasa sakit mendera tiada henti. Ngilu dan nyeri. Belum boleh minum pula. Tersiksalah malam itu. Leher kering menahan sakit dan haus. Lapar sih tidak. Cairan infus plus rasa perih yang begitu akut menghapus rasa itu.

Bangsal Albertus Kamar 1 menjadi rumah saya sampai 23 hari kemudian. Selama itu, saya tidak bisa ke mana-mana. Seluruh aktivitas mulai dari tidur, mandi, kencing, beol, menerima tamu, dan menyambut komuni saya lakukan di bed sempit itu. Jangankan turun, menggerakkan kaki saja tidak bisa. Kaki kanan saya digantung 30 cm di atas permukaan bed. Bengkak. Pen yang terjahit di tulang kering tidak boleh goyah. Platin yang menusuk tulang paha saya juga tidak boleh teroyak.

Perih dan pilu menjadi sahabat saya sehari-hari. Dan akhirnya kami memang akrab. Saya bisa menikmati rasa sakit itu sebagai pengingat betapa berharganya kesehatan. Saya menikmati saat-saat tak berdaya, ketika saya tergantung pada semua orang, ketika saya tidak bisa bertopang pada diri sendiri.

Berkat sakit itu pula, saya merasakan persaudaraan yang begitu kental dari teman-teman sekolah. Saban hari selalu ada yang menengok saya. Dan saban hari pula mereka selalu berurusan dengan satpam karena mereka memaksa bezoek di luar jam kunjung.

Bukan hanya menengok. Segepok catatan pelajaran pada hari itu juga mereka kirimkan. Mereka meminta saya tetap belajar. Mereka tidak mau, gara-gara sakit saya jatuh bodoh. Tapi, namanya juga sakit, siapa yang betah membaca materi pelajaran? Apalagi tidak semua tulisan teman saya bisa dibaca.

Kelak, dua bulan kemudian, ketika saya kembali ke sekolah setelah cukup puas beristirahat sebulan di rumah, rasa persaudaraan yang lain mereka tunjukkan dengan tulus. Setiap hari, secara bergantian, mereka mengantar saya pulang. Kalau sore harinya saya ada ekskul jurnalistik atau kegiatan sekolah lainnya, mereka pun dengan lapang menyediakan tempat untuk beristirahat. Saya boleh merebahkan badan di kamar kost mereka. Boleh minum dan makan dari jatah bulanan mereka. Boleh merepoti mereka…

Mengingat itu semua, saya begitu bersyukur atas kesempatan hidup yang Allah berikan kepada saya hingga sekarang. Atas orang-orang baik yang Allah kirimkan untuk menopang pincangnya hidup saya.

Luka jahitan di kaki saya sengaja tidak saya hapus, supaya saya bisa terus mengingat betapa saya dikelilingi oleh sahabat-sahabat sejati. Inilah alasan kenapa setiap ada acara kumpul-kumpul dengan teman-teman, saya selalu memprioritaskan untuk datang. Karena mereka saya ada.