Bagi sebagian orang, penjara tak ubahnya TPA (tempat pembuangan sampah akhir). Laiknya TPA, semua ada di sana: potongan rumput taman, tulang ayam bakar, bangkai tikus, hingga tai anjing. Kotor dan menjijikkan. Bau dan bikin sesak nafas.
Begitu pun penjara. Semua ada di sana: maling knalpot, penipu arisan berantai, pembunuh bayaran, penghisap shabu, hingga koruptor. Stempel “pelaku kejahatan” melekat di jidat mereka. Tak ada yang mau mendekat, kecuali keluarga yang sudah tercoreng mukanya, atau teman karib yang jatuh iba. Cuh… cuh… cuh…
Penjara adalah comberan masyarakat, yang berisi orang-orang buangan. Mereka terhempas dari sangkakala, terompet kabar kematian. Mereka tertimpa palu hukum yang dijatuhkan di meja hijau. Pula, mereka terkucil dari habitat sosialnya.
Dan mereka seperti tak punya hak bersuara. Tak ada saluran kata untuk membela, alih-alih meluruskan. Sudah terkepung tembok tebal, mulut mereka pun disumpal. Bisik-bisik lirih pun tak terdengar dari balik jeruji tembus angin itu.
Di dalam semakin sunyi, di luar makin bergemuruh. Bahwa penjara memang kuburan hidup bagi para pecundang.
Meski begitu, sayup-sayup tetap terkisik kabar bahwa ada nyanyian bisu dari dalam penjara. Viktor Frankl salah satunya. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1946), ia menuliskan bagaimana pergulatan batinnya di dalam penjara. Baginya, penjara adalah kegelapan yang tak berujung. Tak kelihatan di sana di mana pintu kebebasan itu, jika ada. Dalam kegelapan itu, yang ada justru keterpurukan. Keterkejutan akan kenyataan berada di penjara lama-lama menjadi sikap apatis bahwa memang hanya penjaralah kehidupan yang ada. Alih-alih membayangkan bebas kelak di waktu yang tidak bisa ditentukan, bisa bertahan saja jauh dari harapan.
Toh, bagi Frankl, selalu ada makna yang bisa dipetik dari kegelapan itu. “Then I grasped the meaning of the greatest secret that human poetry and human thought and belief have to impart: The salvation of man is through love and in love,” tulisnya.
Adakah selain Frankl?
Wilson, narapidana politik kasus 27 Juli 1996, mencoba memaknai pengerangkengan tubuhnya dari aspek kemanusiaan. Secara khusus ia mengamati sosok Xanana Gusmao, tokoh fretilin yang diterkam rezim Soeharto karena memimpin gerakan makar pembebasan Timor Timur dari aneksasi Indonesia.
“Ketika saya melihat seorang pemimpin rakyat Timor Timur di penjara, saya melihat bagaimana seorang pemimpin hidup dalam kesederhanaan. Saya mencatat kehidupan sehari-harinya yang tidak diketahui orang lain karena Xanana kan image-nya pejuang gerilyawan, angkat senjata AK 47 atau M16, bawa radio komunikasi, jadi dia seperti membawa simbol-simbol yang menyeramkan. Nah saya menampilkan Xanana sebagai sosok yang lain dalam tulisan-tulisan saya. Misalnya sosok Xanana dalam hal melukis, bermain bola, merawat bonsai, hubungannya dengan napi kriminal, bagaimana dia belajar bahasa Indonesia dari mereka, bagaimana hubungannya dengan petugas administrasi, bagaimana dia membela napi-napi kriminal agar mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik, agar mendapatkan jatah makanan yang lebih baik kualitasnya. Yang dia lakukan jauh lebih banyak ketimbang kami tapol/napol dari Indonesia. Menurut saya hal-hal seperti itu penting untuk diketahui, inilah tipe seorang pemimpin sejati, tidak banyak bicara soal dirinya namun bicara bagaimana dapat membantu orang semaksimal mungkin dalam kondisi yang sangat terbatas. Hal semacam itu tidak banyak saya temui bahkan dari kawan-kawan sendiri walaupun kami sudah mencoba berbuat seperti Xanana,” ujarnya kepada Faizol Reza (Sinar Harapan, 2 April 2005).
Berbekal mesin ketik, yang dicumbuinya 8 jam sehari, ia pun menulis buku penelitian sosial tentang kehidupan di penjara.
Arswendo Atmowiloto pun layak disebut. Napi kasus “Monitor” ini pun mampu menembus tembok penjara lewat mesin ketik yang boleh dibawanya. Ia tetap menulis dari balik teralis. Alhasil, Sebutir Mangga di Halaman Gereja (1994) boleh kita petik. Di penjara pun ia tunai Menghitung Hari (1994).
Katak Menembus Tempurung
Penjara ibarat tempurung. Penghuninya ibarat katak. Orang Belanda punya istilah “Kijken tussen de bomen” untuk mereka yang cara pandangnya sempit, kita mengenal pepatah “bagai katak dalam tempurung”. Demikianlah, penghuni penjara pun ibarat katak dalam tempurung. Hidup mereka terkurung dalam tembok tinggi-berlapis dan berpenjagaan ketat. Mereka tak boleh ke mana-mana. Jadwal keluar sel ditentukan, jadwal makan diatur, jadwal dikunjungi pun dibatasi.
Seperti pagi tadi. Bersama beberapa teman kantor, saya berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta. Kami kerap menyebutnya LP Wirogunan. Kami bertemu Santosa Heru Irianto, kepala lapas, untuk membicarakan rencana pelatihan menulis bagi warga binaan (napi), pekan depan.
Saya mengusulkan tema “Katak Menembus Tempurung” untuk pelatihan menulis yang baru pertama kali diselenggarakan di LP Kelas II A ini. Penjelasan saya seperti uraian di depan. Bahwa penghuni lapas bolehlah terbelenggu fisiknya, namun tidak dengan hati dan pikirannya. Tidak dengan kreativitasnya.
Lewat menulis, para napi bisa menyuarakan kehidupannya secara leluasa. Mereka bisa bercerita bagaimana keseharian di hotel prodeo. Mereka bisa bertutur tentang harapan sehabis masa hukuman dijalani. Mereka bisa bercerita tentang cinta, air mata, dan tawa.
Angkat topi untuk Lapas Yogyakarta yang mulai terbuka akan perubahan zaman. Mereka mulai mengundang beberapa elemen masyarakat untuk terlibat dalam pembinaan para napi. Pintu masuk sudah diubah. Tak perlu lagi menggedor dari pinggir jalan untuk memanggil petugas. Masuk saja. Pelayanan pun dipoles. Lebih ramah.
Paradigma telah mereka ubah. Penjara bukan lagi Alcatras atau Guantanamo. Juga bukan lagi Nusakambangan. Tempat-tempat itu, bahkan, menyiksa katak dalam tempurung, dan membuang bangkai katak.
Tapi penjara adalah Wirogunan, tempat napi boleh menari-nari dengan penanya. Mereka boleh menulis apa saja. Wirogunan bukan tempat sampah, tempat bangkai katak, tapi tempat katak menari-nari menembus tempurung.(*)
Jogja, 9 Maret 2010
AA Kunto A
[aakuntoa@gmail.com; http://www.aakuntoa.wordpress.com]
Recent Comments