Romo Nio, kanak-kanak yang bercita-cita jadi imam.

In Memoriam: Antonius Devid Febriano WL (18 Februari 2008 – 27 September 2011)

 

Nio, sahabat kecil saya, berpulang 7 hari lalu. Baru semalam saya menitikkan air mata. Bukan karena semata-mata sedih yang tersamar, melainkan haru bahagia. Bagaimana tidak, perayaan semalam dihadiri oleh teman-teman sekolah minggu Nio. Mereka penuh semangat bernyanyi untuk sahabatnya. “Give Thanks,” lagu yang mereka bawakan.

Give thanks
with grateful heart
give thanks
to the holy one
give thanks
for He’s given
Jesus Christ, His Son

And now let the weak say
I am strong
let the poor say
I am rich
because of what
the Lord has done
for us

Give thanks…

 

Teman-teman mendoakan Nio

Tak urung, mereka sesenggukan. Pecah tangis itu. Rupanya, kenangan bersama Nio sudah melekat dalam ingatan mereka. Maklum, dua hari sebelum meninggal, Nio masih sekolah minggu. Sehari sebelum meninggal, mengenakan seragam baru, Nio masih sekolah. Mungkin mereka terlibat dalam permainan seru hari-hari itu. Dan, paham bahwa kebersamaan itu tak mungkin lagi mereka rangkul, jebollah air mata mereka. Seluruh umat yang hadir pun tak kuasa berpura-pura tegar. Sekonyong-konyong, dari depan sampai belakang terdengar suara hidung sedang beradu gesit mengendalikan ingus. Senyap, selain nyanyian yang terbata-bata.

 

Teman-teman sekolah mengantar Nio ke makam

Ternyata Nio begitu mengesan bagi teman-temannya. Mungkin karena Nio paling muda di antara mereka, belum 4 tahun. Mungkin karena tubuh Nio yang super gemuk. Mungkin karena omongan Nio yang cadel dan tak mudah dimengerti. Mungkin karena Nio yang lucu, yang jika capek bersekolah tidak mengamuk melainkan pamit gurunya untuk undur diri. Ia masih 3 tahun 7 bulan ketika ratusan teman satu sekolahnya berjalan kaki mengucapkan salam perpisahan di Senin siang itu, 27 September 2011.

 

Nio ingin menjadi imam, terinspirasi Om Romo Mali CSsR, sahabat keluarganya. Tempo hari, saat kami mengajaknya berjalan-jalan ke Show Room Penerbit Kanisius, ia antusias sekali mengenakan jubah+kasula ukuran anak-anak. Seperti adatnya bersama teman-teman di gereja, ia pun luwes memeragakan bagaimana memimpin ekaristi. Aku memotretnya untuk banyak adegan yang dengan suka cita ia lakonkan.

 

Lemah jantung menjadi lantaran baginya pulang ke surga sebelum ia benar-benar jadi romo. Ah, tak mengapa, toh ia sudah pernah jadi romo dalam rekaman lensa. Berangkat ke surga, ia mengenakan baju batik, baru kelar dijahit, untuk merayakan Natal nanti sejatinya. Berkudung blangkon, cah Jawa berbapak Ambon ini memahkotai diri menuju surga, menyusul Eyang Kakung Antonius Sumawardi yang telah berangkat 150 hari lalu, juga mengejar Lamafa Beding, kakak sepupunya, yang 100 hari lalu juga kembali ke alam baka.

 

Nio seperti tahu akan hari kepergiannya. Sehari sebelum wafat, ia bilang ke Mama dan Uti-nya, “Besok, Papa Ona, Mama Ni, dan Om Unto ke sini, antar Nio ke makam sewu naik Bembem trus alan-alan.” Papa Ona dan Mama Ni adalah pakde-budenya. Unto adalah saya. Bembem adalah sebutannya untuk mobil, mungkin merujuk pada suara kendaraan roda empat itu. Keluarga mengira bahwa keinginannya ke makam sewu adalah untuk tabur bunga di pusara kakek-kakaknya. Ternyata, Bembem yang mengantarnya adalah ambulans jenazah.

 

Keluarga pun tak berfirasat ketika sepuluh hari belakangan Nio gandrung banget menyanyikan refrain lagu ini:

 

Dia kubangkitkan

Dia kubangkitkan

Dia kubangkitkan… di akhir zaman…

 

Nio, ternyata kamu yang bangkit. Ke surgalah Nak. Maafkan Om Kunto atas utang janji mengantarmu ke Alun-Alun Kidul naik Bembem kayuh kerlap-kerlip. Pasti ada Bembem yang lebih meriah di arwana.

 

Yogyakarta, 3 Oktober 2011

AA Kunto A [http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com]