Gowes Mengurangi Risiko Bencana

Leave a comment

Oleh AA Kunto A

Artikel saya “Pesan Damai Pesta Sepeda” yang dimuat Kompas, 11 Oktober lalu berbuah berkah. Undangan pertemanan di akun Facebook saya berdatangan dari teman-teman pesepeda. Girangnya hati saya.

Lebih girang lagi tatkala salah seorang teman baru, Mas Bimo, berlega hati mengirimi saya tautan ini http://forum.b2w-jogja.web.id/index.php?topic=2833.0. Segera saya mengirim sms ke Mas Thomas, si empunya gawe. Bersambut.

Pagi ini, Sabtu 16 Oktober, tiga puluh menit selepas pukul enam pagi, Waltz Hybrid saya akur mengusung saya ke titik pertemuan di Monjali, Monumen Jogja Kembali. Panitia sudah menunggu di halaman parkir timur, dekat kios penjaja souvenir.

Segera menerakan tanda hadir. Silih atasnya adalah secarik kertas putih, beberapa brosur, dan sebuah kaos hitam bertuliskan “Masyarakat Kuat Bencanane Lewat; eling lan waspada ngadepi bebaya”. Masyakarat kuat, bencana lewat; ingat dan waspada menghadapi bahaya.

Saya mendapatkan kertas bertuliskan (bahasa dan pengetikan sesuai teks asli):

——-

III. Regu Banjir: Banjir adalah bencana musiman dan diperburuk dengan adanya perubahan iklim global sekarang ini. Yogyakarta dilalui oleh beberapa sungai yang berpotensi mengakibatkan banjir. Sistem drainase yang buruk juga mengakibatkan banjir di beberapa daerah. Tempat-tempat yang akan anda tuju adalah titik-titik rawan banjir di Yogyakarta. Sebarkan poster dan tips siaga bencana di daerah-daerah tersebut.

Anda harus menuju ke daerah-daerah yang digambarkan dalam petunjuk di bawah ini:

  1. Daerah dimana Romo Mangun berkarya
  2. Daerah Universitas negeri tempat dulu para calon guru menimba ilmu
  3. Dulu adalah area Pesanggrahan Hamengku Buwono VII

——-

Usai memecahkan teka-teki yang terkandung dalam petunjuk tersebut, kami bergegas ke arah kota. Menyusuri Jalan Nyi Tjondroloekito, sepeda kami lajukan perlahan. Tujuan pertama kami adalah Perkampungan Code di Gondolayu. Mas Falon jadi pemimpin perjalanan. Teman-teman lain, yang baru saya kenal tadi, membuntuti di belakang. Kami berkenalan sembari menggowes sepanjang Monjali –Blunyah Gede – Jetis – Tugu – Code – Terban – Bundaran UGM – Samirono – Demangan – Ambarrukmo – Gowok – Sorowajan – Balaikota – Pusdalops PB.

Sampai di jembatan baru memasuki kampus UGM dari arah barat, kami berbelok ke kiri. Jalan kecil di samping jembatan kami pilih. Menurun amat curam, kami meluncur satu per satu. Hanya seorang yang tak berani menunggangi sepedanya. Ia menuntun saja. Maklum, sepedanya jenis fixie gear, yang sedang tren di Jogja. Sepeda itu tanpa rem. Perlu sedikit membungkuk untuk menghentikan putaran ban. Maka, tak mungkinlah membungkuk di turunan jika tak hendak terjungkal.

Mengenali Risiko Bencana

Pemandangan di bawah jembatan menakjubkan. Tepian sungai ini pas sekali untuk berpuisi, atau mendendangkan nyanyian air yang mengalir dari kaki Merapi itu. Ada beberapa gazebo di sana, tersebar di pinggiran kali, cocok untuk merebahkan penat. Pohon-pohon rindang juga berhimpun di bantaran.

Ini Kali Code. Di atas sana, warga menamai sungai ini Kali Boyong. Jika Merapi sedang menggelar hajatan, hembusan awan panasnya bertiup ke sini. Enam belas tahun lalu, awan panas yang dikenal dengan sebutan “wedus gembel” itu meluluhlantakkan Dusun Turgo, dusun paling atas di sisi barat daya Merapi, dan menewaskan 62 jiwa, yang sebagian di antaranya sedang menghadiri pesta perkawinan salah seorang warga.

Awan panas berkecepatan 300 km/jam dengan suhu di atas 800 derajat Celcius itu, selama ini, memang tak pernah berhembus sampai ke kota. Yang sampai hanyalah kiriman guguran lava yang menjelma menjadi bebatuan digelontor air. Curah hujan yang tinggi di daerah hulu itulah yang potensial membanjiri aliran kali ini.

Potensi bencana inilah yang menggerakkan Forum Pengurangan Risiko Bencana menggelar kegiatan bersepeda sambil membagikan brosur dan poster tentang hal-hal apa saja yang perlu diketahui masyarakat tentang pengurangan risiko bencana. Ada beberapa kelompok selain kelompok banjir yang saya ada di dalamnya. Ada kelompok gempa bumi, ada kelompok tanah longsor, ada kelompok angin. Semua bencana itu pernah menimpa Jogja, dari skala kecil hingga besar, dari yang tidak berkorban sampai yang menyita perhatian dunia internasional seperti gempa 5,9 Skala Richter pada 27 Mei 2006.

Di negeri rawan bencana ini, memang sebaiknya kita belajar tentang kebencanaan dan risikonya. Dengan mengenalinya, kita bisa memperkecil risiko yang diakibatkannya.  Dalam hal banjir, contohnya, risiko bisa diminimalkan dengan cara membangun kesadaran masyakarat untuk tidak membuang sampah di sungai. “Beberapa orang di sini masih suka melakukannya di dekat bendungan itu,” gerutu seorang warga Blunyah Gede sembari menunjuk gambar pada brosur yang saya sodorkan.

Monumen Kesadaran

YB Mangunwijaya, alias Romo Mangun, berhasil membangun monumen hidup tentang kesadaran atas risiko bencana ini. Di bawah jembatan Gondolayu, 300 meter sebelah timur Tugu Yogyakarta, pastor-novelis-arsitek-aktivis ini mendesain kawasan bantaran sungai sebagai tempat yang layak dihuni sekaligus aman dari bahaya banjir. Ia membangun rumah-rumah warga seturut kemiringan tebing. Lebih-lebih, kesadaran warga dalam menjaga lingkungan ia tanamkan betul. Alhasil, sepeninggal Romo Mangun, sedekade lalu, perkampungan itu terjaga nilai-nilai kebersihan  lingkungannya. Mas Heri, salah seorang warga, sembari menyantap sarapan di warung depan perpustakaan, bersaksi bahwa hingga kini kampung mereka tak pernah diluberi air.

Lain halnya cerita Suster Mariane CB, pengasuh Asrama Putri Stella Duce, Samirono, saat kami menyambangi tempat itu dalam perjalanan ke Universitas Negeri Yogyakarta –yang tak jadi kami singgahi– tadi. Asrama yang dihuni remaja usia SMA itu jadi pelanggan tetap banjir saat hujan mengguyur. Padahal, kali di samping barat asrama yang terletak persis di belakang Asrama Syantikara itu hanyalah kali kecil dengan lebar sekira 2 meter. Hulunya pun hanya di Lembah UGM, tak sampai 1 km di atasnya. Posisi asrama yang lebih rendah dari aliran sungai menyebabkan air kerap meluber hingga ke kamar-kamar. Sejak tahun 1995-an, ketika saya kerap dolan ke sana, hingga kini, bencana itu jadi sahabat mereka. Dan bukan hanya mereka. Warga Klitren, sekira 1 km ke arah hilir, nyaris selalu jadi bintang pemberitaan media karena jadi pelanggan tetap banjir oleh sungai yang sama. Kondisi ini diperparah dengan keteledoran warga membangun Balai RW persis di atas kali; sebuah preseden buruk penataan lingkungan yang amat sembrono.

Sebelum menyudahi perjalanan di Pusdalops PB (Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan Bencana; ini juga preseden buruk berbahasa dalam hal penyingkatan istilah yang tidak konsisten), kami singgah di pos terakhir sesuai perintah secarik kertas yang kami lipat. Tempat itu adalah Pesanggrahan Ambarrukmo, yang gandhog tengen-nya telah dikepras untuk pendirian Ambarrukmo Plaza. Padahal itu tempat bersejarah, tempat beristirahat Sultan dan kerabat Kasultanan Yogyakarta, tempat Sultan HB VII wafat di tahun 1921. Sekarang, situs cagar budaya yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia No. PM. 25/PW.007/MKP/2007 itu makin terbengkalai dikepung pagar proyek pembangunan kembali Hotel Ambarrukmo.  

Tugas Mengingatkan

Kaitannya dengan gerakan ini? Terang ada. Faktanya, ruas jalan depan Hotel Ambarrukmo, 100 meter timur Plaza Ambarrukmo, selalu banjir jika hujan turun lebat. Air yang mengalir deras dari arah Jalan Perumnas, membludak begitu saja ke Jalan Solo. Drainase yang ada tidak memadahi menampung debit air yang besar. Bisa jadi bukan bangunan-bangunan modern itu yang jadi penyebab banjir, melainkan rantai pembangunan lainnyalah biangnya.

Jika pun bukan bukan penyebabnya, bolehlah kita mengingatkan para pembangun itu untuk menghitung dampak pembangunan yang dikerjakannya. Miris, contohnya, melintas di Jalan Kaliurang ruas Kentungan di kala hujan. Akibat pembangunan wilayah yang begitu brutal di kiri-kanan, jalan itu tak ubahnya kali. Orientasi pembangunan yang tidak ramah lingkungan akan membunuh kita.

Terima kasih kepada Forum Pengurangan Risiko Bencana dan Komunitas B2W (bike to work) yang telah menyelenggarakan kegiatan santai dan penuh kesan ini. Sambil bersepeda bisa menyusuri sungai, bertegur sapa dengan warga bantaran, dan menimba aneka kearifan alam.

Mari bersepeda.

Yogyakarta, 16 Oktober 2010

Salam hangat,

AA Kunto A

[http://www.aakuntoa.wordpress.com/; aakuntoa@gmail.com]

Pengadilan Karya, Tempat Terdakwa Bangga

1 Comment

20091025 pelatihan menulis kreatif @ kuwera (4)

berkumpul, berkarya, berbangga

Orang-orang muda itu berbicara tanpa menunduk, duduk tanpa mengantuk. Sungguh menggetarkan. Dari mereka terpancar rasa bangga, sorot mata optimistis.

Sabtu-Minggu (24-25 Oktober) kemarin menjadi akhir pekan yang penuh warna. Bersama orang-orang muda, kami belajar menulis kreatif di Kuwera, rumah almarhum Romo YB Mangunwijaya. Ya, belajar bersama. Khusus untuk saya, saya belajar dari mereka. Bagaimana tidak. Di usia yang sungguh muda, beberapa di antara mereka sudah menghasilkan karya sastra. Vazza, contohnya, sudah menghasilkan 3 novel ketika SMP. Kini, mahasiswi semester 1 UGM dan UNY ini sedang menyusun buku autobiografi. Ia tuna rungu sejak kecil, dan berkat kasih sayang orangtuanya, berhasil menembus batas kekurangan.

Fren, teman yang lain, memapar kiat-kiat menggali kreativitas menulis. Juga teman-teman muda dari Komunitas Mata Pena, Komunitas Kutub, dan teman-teman yang tidak tergabung dalam komunitas. Ada yang masih SMP, ada yang sudah kuliah, tak sedikit yang sudah bekerja. Lebur jadi satu.

Pelajaran kali ini diberi nama “pengadilan karya”. Proses ini lazim dihidupi komunitas sastra. Seperti namanya, suasananya mirip pengadilan. Ada jaksa penuntut umum, ada pengacara, ada majelis hakim. Terdakwa juga dihadirkan, tidak nemo.

20091025 pelatihan menulis kreatif @ kuwera (11)

menyerap daya robrak mangunwijaya

Bedanya, jika di meja hijau terdakwa didudukkan karena belepotan dugaan kejahatan, di forum ini terdakwa dihadirkan karena karyanya ingin dipublikasikan. Sebelum menjadi santapan publik, si terdakwa menyilakan forum untuk menilai karya tersebut. Yang dikritisi forum meliputi judul, gaya bahasa, ide, alur cerita, konflik yang dibangun, efek kejut, penokohan, ilustrasi, dan dampak yang mau disasar dari pembaca. Terdakwa boleh menerima, boleh menolak, boleh mengacuhtakacuhkan.

Sebagai forum pengadilan, ada yang berperan sebagai penuntut yang meyakini bahwa karya sang terdakwa tidak layak diterbitkan, ada yang berperan sebagai pengacara yang membela karya terdakwa, ada pula hakim yang memutuskan layak-tidaknya karya tersebut diterbitkan.

Meski analog dengan suasana persidangan, namun proses peradilan ini berbeda. Pertama, peran-peran yang dimainkan tidak ditentukan, melainkan muncul dan mengalir begitu saja. Suka-suka saja. Terhadap judul boleh setuju, tetapi terhadap plot boleh mencerca. Wawasan dan referensi yang tersimpan di belakang batok kepalalah modal untuk menilai karya. Boleh sok akademis dengan mengutip pendapat tokoh tertentu, boleh pula merilis akal sehat pribadi.

Kedua, jika dalam persidangan umum, pengunjung bersikap pasif sebagai penonton, di sini tidak. Pengunjung boleh berpendapat. Lebih dari itu, dirangsang untuk terlibat. Sebab, sejatinya, dalam forum seperti ini, tidak ada yang lebih ahli satu dari yang lain. Hanya perspektif saja yang berbeda. Pengunjung pun bisa menempatkan diri sebagai perwakilan pembaca. Sikap diam, bertanya, heran, memuji, atau apa pun dalam forum itu bisa dijadikan acuan kurang lebih sikap pembaca ketika karya tersebut betul-betul bakal ditelurkan.

Beda yang ketiga, ini yang utama sejatinya, jika di peradilan umum terdakwa menanggung malu atas perbuatannya, dan karenanya mereka kerap merunduk malu atau berusaha menutupi wajahnya, terdakwa di pengadilan karya ini duduk dengan rasa bangga, berdiri secara terhormat. Apa pun lontaran pedas yang dialamatkan kepadanya, semua bernada kekaguman. Jika tidak berkarya, mana bisa diadili…

Versi lain silakan baca Kompas.

Mahal Bagus Murah Jelek

Leave a comment

yg mahal tangannya apa asesorisnya ya?

yg mahal tangannya apa asesorisnya ya?

Ketegangan antara kutub global dan tradisional makin menjadi-jadi. Bukan saja memperjelas perbedaannya di mana, melainkan juga menyembunyikan kesesatannya. Kalangan yang menyebut diri berwawasan global makin semena-mena mengolok-olok mereka yang dikategorikan sebagai kalangan tradisional. Sedang kalangan yang dijebloskan ke dalam kubangan tradisional tidak berdaya untuk menjawab cibiran yang diarahkan kepadanya.

Arsitek Eko Prawoto menjelaskan fenomena ini dengan sederhana. “Tata kota atau rencana kota seolah tak punya makna. Bermunculan gedung serta bangunan berprinsip ‘suka-suka’ seolah serempak hendak merayakan peluang keterbukaan untuk berpacu masuk dalam budaya global.” Contoh: di semua sudut kota hingga desa kini bertumbuh pesat ruko-ruko dengan bentuk yang sama. Arsitek pun berlomba mengejar nilai proyek, bukan aspek estetika.

Ia menyampaikan kritikan ini pada diskusi mengenang 10 tahun wafat YB Mangunwijaya yang diselenggarakan Kompas dan Dinamika Edukasi Dasar di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Ia geram atas perilaku sejawatnya yang seperti tidak berdaya di hadapan mesin globalisasi. Ia tentu juga gusar atas sikap masyarakat yang menerima begitu saja gerusan budaya ini.

Parameter kulit-material

Secara meluas, virus pembusukan ini memang telah menyebar, baik secara halus maupun secara kasar, baik diserap secara sadar maupun tidak sadar. Cara persebarannya pun enteng; menyerang ego: yang merasa modern ikut saya, yang tidak berarti kuno. Aduh, sekarang ini siapa sih yang tahan dicolok eksistensinya?

Bersamaan dengan serangan ini, dicantumkan pula nilai-nilai baru yang wajib dianut mereka yang mau mengikut. Parameternya materialistik: kebendaan. Orang sukses adalah orang kaya, orang pintar adalah orang berkedudukan, orang baik adalah orang yang suka bagi-bagi uang, orang modern adalah orang yang tubuhnya ditempeli banyak merek.

Dalam bahasa arsitektur, rumah gaya Londo yang magrong-magrong itu simbol kepriyayian. Dalam bahasa bakul, air yang dikemas apik dan dibandrol mahal itu simbol kualitas dan higienitas. Dalam bahasa politisi, caleg yang manis membungkus janjilah yang dipersepsikan akan mampu menjadi wakil rakyat sejati. Dalam bahasa pujangga, kata-kata puitis menjadi cermin orang bijak.

Kata orang pintar: inilah era komodifikasi.

Dalam konteks kenduri kebangsaan, kita kehilangan kebersamaan. Semua mendaraskan doa untuk kepentingan sendiri, atau paling banter untuk kepentingan kelompoknya. Label-label yang merujuk pada pengertian global tersebut makin menyingkirkan mereka yang justru menghendaki terawatnya nilai-nilai tradisi, tanpa hendak memperlawankan dengan nilai-nilai kemajuan. Mereka yang menyatu dengan alam makin ditepikan oleh batu-bata industri. Mereka yang tidak bermerek, yang tidak dekat dengan asosiasi merek tertentu, tidak kebagian meja perjamuan. Sebab, yang tidak bermerek itu murah. Dan yang murah itu jelek. Jelek tidak pantas untuk dihidangkan di pesta, maka dibuang saja.

Hilang dalam kegelapan

Butuh keberanian untuk memposisikan diri di pusaran arus ini. Bukan untuk melawan sama sekali, melainkan untuk lebih menghargai diri. Bukankah kehidupan ini tidak hanya dibangun dari material yang tampak, tetapi juga dari yang tidak tampak, immaterial? Bukankah selain kulit, daging, tulang, dan darah, kehidupan ini berhembus berkat angin, bergulir berkat semangat, dan mencapai kesempurnaan berkat keutamaan?

Bukan tawaran baru memang. Tapi perlu dilontarkan kembali supaya tidak membatu menjadi heritage yang hanya untuk tontonan. “Gantungkan cita-citamu setinggi langit,” pekik Bung Karno. Kenapa tidak setinggi Monas saja ya? Karena sesuatu yang immaterial itu tidak berbatas, membebaskan. Sedangkan sesuatu yang material itu membelenggu.

Kenapa juga Mangunwijaya mendirikan SD Mangunan? Karena ini mau meletakkan watak, karakter. Kenapa membela warga Kedung Ombo? Menata Kawasan Code? Karena setiap manusia punya martabat, tidak boleh diinjak-injak. Watak dan martabat, meski tidak tampak, immaterial, menyatu dalam diri manusia, dengan atau tanpa atribut padanya.

Bangsa kita sedang dalam kegelapan. PHK pecah di mana-mana, kemiskinan makin meluas, bencana alam tak pernah bosan menerjang, dan masih banyak peristiwa buruk lainnya. Gelap sangat pekat. Saking gelapnya, prestasi olahraga, olimpiade fisika, dan prestasi-prestasi anak bangsa lainnya seolah tak mampu menyingkap tabir kegelapan ini.

Apa sih yang tampak dalam kegelapan? Tidak ada. Merek tidak tampak, kemegahan tidak kelihatan. Yang mahal tak ketahuan, yang murah pun tersembunyi. Tidak ada beda global dan tradisional. Tak tampak apa-apa. Hanya ada yang bisa dirasakan: pernapasan, kehangatan, dan kehidupan. Itu yang esensi.

Untuk mencapai tahap itu, yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menjadi manusia otentik. Manusia otentik adalah mereka yang menempatkan keluhuran dirinya sebagai pegangan. Mereka mengendalikan atribut, berkualitas karena sinar karakter yang memancar dari budi dan hati.(*)

Solentiname, Kakiku Berdiri di Mana?

1 Comment

Tertunda, kesegeraan saya menulis tentang Fernando Lugo Mendez. Presiden Paraguay ini begitu inspiratif. Ia menjadi presiden pertama yang tidak menerima gaji. Kakinya berdiri untuk orang miskin. Dan istana tak akan mencerabut pijakan itu. Ia berjanji.

Lugo mengingatkan saya pada Uskup Romero di El Salvador. Ia yang kemudian menjadi salah satu simbol teologi pembebasan, begitu gigih melawan penindasan yang dilancarkan oleh penguasa brutal di negerinya. Dipengaruhinya para militer untuk menolak perintah Jenderal Carlos Humberto untuk membunuh warga miskin tak berdaya. Ajakan 23 Maret 1980 itu ia lontarkan karena pada periode 22-29 Oktober 1979, militer telah membunuh sebanyak 100 orang miskin di perkampungan Solentiname.

Apa yang kemudian terjadi? Uskup Romero dibunuh oleh junta. Ia ditembak tepat di ulu hati tatkala sedang menghunjukkan misa kudus. Saat sedang konsekrasi, persatuan tubuh dan darah Kristus, ia meregang nyawa oleh penembak jitu yang menyelinap di kapel. Tentu saja, kematiannya mengobarkan semangat perlawanan yang besar.

Di negeri ini, bukan tidak pernah ada rohaniwan yang punya keberanian seperti dia, yang keberpihakannya pada kaum tertindas begitu kental. Mereka tidak sembunyi di balik bangunan gereja, berkhusuk dalam doa seperti kaum Farisi di depan tabernakel, dan menikmati singgasana jabatan klerus. Pernah ada YB Mangunwijaya Pr yang begitu getol membela warga Kedungombo. Kakinya sungguh-sungguh di tengah korban penindasan rezim Soeharto kala itu. Keberaniannya melampuai tugasnya.

Yang setingkat uskup, ada Uskup Agung Medan Mgr Pius Datubara OFMCap dan Uskup Amboina PC Mandagi MSC. Pius dikenal berani menolak berdirinya kembali Indorayon. Pada 2003, Ia gigih menentang perusakan alam yang akan diakibatkan perusahaan pengolah bahan kertas itu. Kekeringan yang sudah menghisap sumber kehidupan rakyatnya membuatnya tergerak untuk melawan! Demikian juga Mandagi. Ia berdiri di depan untuk merampungkan kerusuhan berbau SARA yang metelus Januari 1999 di Ambon.

Apa yang menarik bagi saya? Bahwa Gereja turut ambil bagian dalam penyelesaian persoalan sosial dunia. Gereja tidak berpangku tangan, seolah tuli, dengan jerit penderitaan bangsa-bangsa. Demikian juga para rohaniwannya, bersedia menjadi pelayan dalam arti sesungguhnya. Berani ambil sikap, berani pula menghadapi risiko.

Contoh-contoh terakhir, para rohaniwan itu, masih tetap bernaung di bawah payung Gereja. Mereka masih berjuang dengan membawa atribut keagamaan. Baik saja, sejauh membawa perubahan yang lebih baik. Sedangkan Lugo memilih “cuti”. Ketika atribut kerohaniawanannya tidak membuatnya leluasa berjuang, ia memilih untuk mundur dari jabatan uskup, dengan tetap menjalani kehidupan selibat dan religius, dan memasuki ranah politik praktis. Ia memutuskan untuk memasuki dunia gelap yang diperanginya. Saya berdoa, semoga kakinya tetap berpijak untuk kaum miskin. Semoga ia tetap setiap dalam panggilannya….

Saya merindukan Gereja Indonesia yang kakinya berpijak pada kaum miskin, bukan Gereja yang ribut persoalan remeh-temeh seperti Tata Perayaan Ekaristi. Bukan Gereja yang sibuk mendirikan gereja sekadar untuk melarikan diri dari persoalan duniawi. Saya merindukan Gereja, termasuk imam, bruder, suster, yang tidak dremimil dalam mendaraskan doa tapi tak punya nyali memanggul salib Kristus.

Juga, rindu uskup yang ketajaman imannya menuntunnya berdiri di depan, menegakkan keadilan, memperjuangkan kesejahteraan seluruh bangsa, menjaga peradaban lingkungan supaya lestari… Bukan uskup yang sibuk ngurusi pastor-pastor manja yang tidak mau kerja kalau nggak ada duit dan fasilitas, yang ogah kerja di pedalaman, yang gila hormat, yang maunya cuman mimpin misa… Singkirkan saja rohaniwan macam itu. Dunia butuh murid Kristus yang radikal dan militan seperi Lugo, Romero, Mangun…