Ketegangan antara kutub global dan tradisional makin menjadi-jadi. Bukan saja memperjelas perbedaannya di mana, melainkan juga menyembunyikan kesesatannya. Kalangan yang menyebut diri berwawasan global makin semena-mena mengolok-olok mereka yang dikategorikan sebagai kalangan tradisional. Sedang kalangan yang dijebloskan ke dalam kubangan tradisional tidak berdaya untuk menjawab cibiran yang diarahkan kepadanya.
Arsitek Eko Prawoto menjelaskan fenomena ini dengan sederhana. “Tata kota atau rencana kota seolah tak punya makna. Bermunculan gedung serta bangunan berprinsip ‘suka-suka’ seolah serempak hendak merayakan peluang keterbukaan untuk berpacu masuk dalam budaya global.” Contoh: di semua sudut kota hingga desa kini bertumbuh pesat ruko-ruko dengan bentuk yang sama. Arsitek pun berlomba mengejar nilai proyek, bukan aspek estetika.
Ia menyampaikan kritikan ini pada diskusi mengenang 10 tahun wafat YB Mangunwijaya yang diselenggarakan Kompas dan Dinamika Edukasi Dasar di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Ia geram atas perilaku sejawatnya yang seperti tidak berdaya di hadapan mesin globalisasi. Ia tentu juga gusar atas sikap masyarakat yang menerima begitu saja gerusan budaya ini.
Parameter kulit-material
Secara meluas, virus pembusukan ini memang telah menyebar, baik secara halus maupun secara kasar, baik diserap secara sadar maupun tidak sadar. Cara persebarannya pun enteng; menyerang ego: yang merasa modern ikut saya, yang tidak berarti kuno. Aduh, sekarang ini siapa sih yang tahan dicolok eksistensinya?
Bersamaan dengan serangan ini, dicantumkan pula nilai-nilai baru yang wajib dianut mereka yang mau mengikut. Parameternya materialistik: kebendaan. Orang sukses adalah orang kaya, orang pintar adalah orang berkedudukan, orang baik adalah orang yang suka bagi-bagi uang, orang modern adalah orang yang tubuhnya ditempeli banyak merek.
Dalam bahasa arsitektur, rumah gaya Londo yang magrong-magrong itu simbol kepriyayian. Dalam bahasa bakul, air yang dikemas apik dan dibandrol mahal itu simbol kualitas dan higienitas. Dalam bahasa politisi, caleg yang manis membungkus janjilah yang dipersepsikan akan mampu menjadi wakil rakyat sejati. Dalam bahasa pujangga, kata-kata puitis menjadi cermin orang bijak.
Kata orang pintar: inilah era komodifikasi.
Dalam konteks kenduri kebangsaan, kita kehilangan kebersamaan. Semua mendaraskan doa untuk kepentingan sendiri, atau paling banter untuk kepentingan kelompoknya. Label-label yang merujuk pada pengertian global tersebut makin menyingkirkan mereka yang justru menghendaki terawatnya nilai-nilai tradisi, tanpa hendak memperlawankan dengan nilai-nilai kemajuan. Mereka yang menyatu dengan alam makin ditepikan oleh batu-bata industri. Mereka yang tidak bermerek, yang tidak dekat dengan asosiasi merek tertentu, tidak kebagian meja perjamuan. Sebab, yang tidak bermerek itu murah. Dan yang murah itu jelek. Jelek tidak pantas untuk dihidangkan di pesta, maka dibuang saja.
Hilang dalam kegelapan
Butuh keberanian untuk memposisikan diri di pusaran arus ini. Bukan untuk melawan sama sekali, melainkan untuk lebih menghargai diri. Bukankah kehidupan ini tidak hanya dibangun dari material yang tampak, tetapi juga dari yang tidak tampak, immaterial? Bukankah selain kulit, daging, tulang, dan darah, kehidupan ini berhembus berkat angin, bergulir berkat semangat, dan mencapai kesempurnaan berkat keutamaan?
Bukan tawaran baru memang. Tapi perlu dilontarkan kembali supaya tidak membatu menjadi heritage yang hanya untuk tontonan. “Gantungkan cita-citamu setinggi langit,” pekik Bung Karno. Kenapa tidak setinggi Monas saja ya? Karena sesuatu yang immaterial itu tidak berbatas, membebaskan. Sedangkan sesuatu yang material itu membelenggu.
Kenapa juga Mangunwijaya mendirikan SD Mangunan? Karena ini mau meletakkan watak, karakter. Kenapa membela warga Kedung Ombo? Menata Kawasan Code? Karena setiap manusia punya martabat, tidak boleh diinjak-injak. Watak dan martabat, meski tidak tampak, immaterial, menyatu dalam diri manusia, dengan atau tanpa atribut padanya.
Bangsa kita sedang dalam kegelapan. PHK pecah di mana-mana, kemiskinan makin meluas, bencana alam tak pernah bosan menerjang, dan masih banyak peristiwa buruk lainnya. Gelap sangat pekat. Saking gelapnya, prestasi olahraga, olimpiade fisika, dan prestasi-prestasi anak bangsa lainnya seolah tak mampu menyingkap tabir kegelapan ini.
Apa sih yang tampak dalam kegelapan? Tidak ada. Merek tidak tampak, kemegahan tidak kelihatan. Yang mahal tak ketahuan, yang murah pun tersembunyi. Tidak ada beda global dan tradisional. Tak tampak apa-apa. Hanya ada yang bisa dirasakan: pernapasan, kehangatan, dan kehidupan. Itu yang esensi.
Untuk mencapai tahap itu, yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menjadi manusia otentik. Manusia otentik adalah mereka yang menempatkan keluhuran dirinya sebagai pegangan. Mereka mengendalikan atribut, berkualitas karena sinar karakter yang memancar dari budi dan hati.(*)
Recent Comments