Tertunda, kesegeraan saya menulis tentang Fernando Lugo Mendez. Presiden Paraguay ini begitu inspiratif. Ia menjadi presiden pertama yang tidak menerima gaji. Kakinya berdiri untuk orang miskin. Dan istana tak akan mencerabut pijakan itu. Ia berjanji.

Lugo mengingatkan saya pada Uskup Romero di El Salvador. Ia yang kemudian menjadi salah satu simbol teologi pembebasan, begitu gigih melawan penindasan yang dilancarkan oleh penguasa brutal di negerinya. Dipengaruhinya para militer untuk menolak perintah Jenderal Carlos Humberto untuk membunuh warga miskin tak berdaya. Ajakan 23 Maret 1980 itu ia lontarkan karena pada periode 22-29 Oktober 1979, militer telah membunuh sebanyak 100 orang miskin di perkampungan Solentiname.

Apa yang kemudian terjadi? Uskup Romero dibunuh oleh junta. Ia ditembak tepat di ulu hati tatkala sedang menghunjukkan misa kudus. Saat sedang konsekrasi, persatuan tubuh dan darah Kristus, ia meregang nyawa oleh penembak jitu yang menyelinap di kapel. Tentu saja, kematiannya mengobarkan semangat perlawanan yang besar.

Di negeri ini, bukan tidak pernah ada rohaniwan yang punya keberanian seperti dia, yang keberpihakannya pada kaum tertindas begitu kental. Mereka tidak sembunyi di balik bangunan gereja, berkhusuk dalam doa seperti kaum Farisi di depan tabernakel, dan menikmati singgasana jabatan klerus. Pernah ada YB Mangunwijaya Pr yang begitu getol membela warga Kedungombo. Kakinya sungguh-sungguh di tengah korban penindasan rezim Soeharto kala itu. Keberaniannya melampuai tugasnya.

Yang setingkat uskup, ada Uskup Agung Medan Mgr Pius Datubara OFMCap dan Uskup Amboina PC Mandagi MSC. Pius dikenal berani menolak berdirinya kembali Indorayon. Pada 2003, Ia gigih menentang perusakan alam yang akan diakibatkan perusahaan pengolah bahan kertas itu. Kekeringan yang sudah menghisap sumber kehidupan rakyatnya membuatnya tergerak untuk melawan! Demikian juga Mandagi. Ia berdiri di depan untuk merampungkan kerusuhan berbau SARA yang metelus Januari 1999 di Ambon.

Apa yang menarik bagi saya? Bahwa Gereja turut ambil bagian dalam penyelesaian persoalan sosial dunia. Gereja tidak berpangku tangan, seolah tuli, dengan jerit penderitaan bangsa-bangsa. Demikian juga para rohaniwannya, bersedia menjadi pelayan dalam arti sesungguhnya. Berani ambil sikap, berani pula menghadapi risiko.

Contoh-contoh terakhir, para rohaniwan itu, masih tetap bernaung di bawah payung Gereja. Mereka masih berjuang dengan membawa atribut keagamaan. Baik saja, sejauh membawa perubahan yang lebih baik. Sedangkan Lugo memilih “cuti”. Ketika atribut kerohaniawanannya tidak membuatnya leluasa berjuang, ia memilih untuk mundur dari jabatan uskup, dengan tetap menjalani kehidupan selibat dan religius, dan memasuki ranah politik praktis. Ia memutuskan untuk memasuki dunia gelap yang diperanginya. Saya berdoa, semoga kakinya tetap berpijak untuk kaum miskin. Semoga ia tetap setiap dalam panggilannya….

Saya merindukan Gereja Indonesia yang kakinya berpijak pada kaum miskin, bukan Gereja yang ribut persoalan remeh-temeh seperti Tata Perayaan Ekaristi. Bukan Gereja yang sibuk mendirikan gereja sekadar untuk melarikan diri dari persoalan duniawi. Saya merindukan Gereja, termasuk imam, bruder, suster, yang tidak dremimil dalam mendaraskan doa tapi tak punya nyali memanggul salib Kristus.

Juga, rindu uskup yang ketajaman imannya menuntunnya berdiri di depan, menegakkan keadilan, memperjuangkan kesejahteraan seluruh bangsa, menjaga peradaban lingkungan supaya lestari… Bukan uskup yang sibuk ngurusi pastor-pastor manja yang tidak mau kerja kalau nggak ada duit dan fasilitas, yang ogah kerja di pedalaman, yang gila hormat, yang maunya cuman mimpin misa… Singkirkan saja rohaniwan macam itu. Dunia butuh murid Kristus yang radikal dan militan seperi Lugo, Romero, Mangun…