Menjelang lipatan malam, waktu telah mengunci kami untuk selekas mungkin menggunggung angka-angka yang telah kami pungut. Kami menjadi juri Lomba Menulis Cerita Sekolah Tinggi Menulis Jogja (STMJ). Ah, belagu benar kami ini. Tak seorang pun dari kami sastrawan. Alih-alih, kami pembaca partikelir belaka, yang tak saban pagi menengok karya pujangga.

Kami hanya sekumpulan pekerja kreatif. Pekerjaan kami berkutat di seputaran ide. Constantinus Elang seorang desainer logo. Banyak logo rancangannya memenangi kontes internasional. Demikian juga Jr Wahyu, yang selain menggumuli desain buku, juga langganan memenangi kontes desain luar negeri. Albert Deby adalah seorang yogi yang memperdalam ilmu soal nama. Ia konsultan nama, baik untuk pribadi maupun korporasi. Di lembaganya, sebuah LSM kemanusiaan, ia menjadi komunikator.

Danu Primanto lain lagi. Basis keilmuannya arsitektur. Basis keahliannya fotografi. Hobinya berjalan-jalan. Foto-foto dan tulisan-tulisan perjalanan ke berbagai daerah di tanah air terpampang di berbagai media. Lara Roselina, satu-satunya perempuan di keanggotaan dewan juri, adalah pembaca sastra yang kuat. Ia menulis buku. Juga menjadi editor dan desainer buku sekaligus.

Sedangkan saya tak jauh-jauh dari mereka. Selain menulis dan menyunting buku, saya juga pelatih penulisan buku. Juga pelatih penulisan jurnalistik, berkat pengalamannya sebagai jurnalis media cetak.

Toh, kecintaan kami pada karya tulis tak perlu diragukan. Setidaknya, keseharian kami di tengah-tengah pusaran arus karya tulis. Jika tak lewat media cetak, kami gemar berselancar di samudera maya.

“Aku pernah baca cerita ini! Hei! Bahkan aku pernah menceritakan ini!” Elang memecah keheningan. Ia mengingat, di mana cerita itu pernah dijumputnya.

Tombol ponsel segera dipencetnya. Ia bergegas ke luar kantor. Sinyal di dalam ruang penjurian seolah turut membeku. Di luar, ia terdengar bercakap-cakap dengan seseorang di seberang. Ia ingin memastikan ingatannya.

“Benar! Ini soal dalam sebuah psikotes!” wajah Elang berbinar. Tidak dengan kami. Kami tertegun, ada peserta yang hendak mengecoh. Nyaris saja naskah itu lolos ke podium pemenang.

Di seberang sambungan telpon yang lain, Albert Deby, yang tidak bisa hadir di sidang penentuan pemenang karena tersandera pekerjaan kantor, menyalakan sinyal peringatan.

“Kurasa, naskah itu terjemahan,” sungutnya. Kami pun menelisik kembali naskah yang ditunjuknya. Penulisnya seorang pelajar SMP. Bahasanya bagus, jauh lebih matang dari bahasa remaja seumurannya. Bukan remaja tak boleh dewasa, sebagaimana pula kaum dewasa banyak juga yang menjadi penulis remaja, namun sebuah ketidakwajaran mencubit kepekaan kami.

Kami, sebisa mungkin, mencermati setiap naskah dari kemungkinan penjiplakan. Sangat besar harapan kami, setiap peserta menyodorkan hasil karya mereka.

Saya memiliki banyak catatan tentang penyelenggaraan lomba ini. Banyak yang menarik, tak sedikit yang menjengkelkan. Dan beberapa di antaranya boleh saya bagikan di sini.

Para pemalas

Bagian menjengkelkan dulu. Begitu publikasi lomba kami sebarkan lewat jejaring internet, email ke redaksi di penuhi pertanyaan-pertanyaan tidak bermutu. Mereka menanyakan hal-hal remeh-temeh, seperti: minimal tulisan berapa halaman, kapan batas waktu penyerahan naskah, atau …

Pemalas benar orang-orang ini. Sungguh menjengkelkan. Mereka menanyakan hal-hal yang sudah jelas terpapar di pengumuman yang kami sebar. Saya bersungut-sungut, inikah wajah “generasi gadget” yang serba cepat, terburu-buru, dan tidak cermat? Jika iya, betapa memprihatinkan. Malu bertanya sesat di jalan. Asal bertanya, memalukan!

Belum lagi, pertanyaan-pertanyaan tidak kreatif seperti ini: bagaimana kalau tidak punya kartu pelajar, bagaimana cara mengirimkan foto lewat email, atau boleh-tidaknya mengirimkan tulisan yang sudah dipublikasikan di blog/FB. Ini pulakah wajah “generasi html” yang serba mudah, lalu kehilangan daya kreativitas?