Teramat sering saya tidur dalam perjalanan. Juga malam itu.

Usai keliling kota Medan dengan pengangkut kota (bukan angkutan kota seperti telanjur orang pakai), saya merapatkan diri ke pangkalan bus Anugerah di bilangan Pondok Kelapa. Sore menjelang, namun gelap masih enggan datang.

Penjaga loket menyodorkan tiket bernomor kursi 8. “Yang di belakang sopir sudah habis, Bang!” ujarnya. Tak mengapa, toh masih di deretan depan. Cukup untuk sedikit mengintip pemandangan di depan.

Ransel yang memeluk di punggung segera saya lorot ke bawah kursi. Tak cukup saat hendak saya selipkan di bagasi atas tempat duduk. Padahal, isinya tak seberapa banyak. Hanya sekotak komputer jinjing, kamera, satu celana panjang jeans, dua baju berkerah, 3 kaos, dan 3 pasang pakaian dalam. Oh ya, ada koran nasional yang saya beli pagi itu di Bandara Adisutjipto Jogja, yang tak sempat saya baca karena sejak pesawat meninggalkan apron, belum lepas landas, saya sudah lepas kandas ke alam tidur.

Sejak dari Jogja saya sudah tidur. Duduk di kursi “emergency exit”, kebiasaan saya, membuat saya bisa leluasa mematut diri. Kaki bisa selonjor tanpa perlu mengantukkan lutut ke kursi depan. Namanya juga naik pesawat murah, kenyamanan itu ada di dalam kepala. Dan, di dalam dada, alias seberapa besar kita mau bersyukur.

Toh saya tetap bisa tidur. Seperti biasa, urusan tidur tak memerlukan alasan. Dalam segala hal, sedih-gembira, hujan-panas, saya bisa tidur. Seperti tertawa, tak juga memerlukan alasan untuk meledakkannya. Hanya lapar yang bisa membatalkan kantuk.

Tapi pagi itu memang melelahkan. Wajar jika saya tidur. Saya baru tiba dari Semarang, langsung ke bandara. Pagi sekali. Hanya sempat mandi dan—syukurlah—makan.

Kamis, 9 Juni, saya sedang di warung ketika berita itu datang. “Mas Aji stroke, aku harus ke Semarang,” pamit Probo dari seberang telepon. Probo adalah Direktur Nareswari Group, pemilik merek Ayam Bakar Larasati yang sedang kami persiapkan pembukaan cabangnya di Sleman, Yogyakarta. Aji adalah kakak kandung Probo. Pria 35 tahun itu bekerja di Bank Internasional Indonesia di Semarang. Ini serangan stroke pertamanya.

Saya tetap di Jogja, mendampingi tim yang sedang berbenah. Padahal, mestinya kami berbenah bersama mengingat 3 hari lagi warung ke-9 ini akan kami buka.

Nyata, pukul 16.00, setiba di Semarang dari Magelang, usai menempuh perjalanan sekira 2 jam, saat saya menelepon Probo, jawaban yang mencuat, “Nyuwun doane wae, Kun. Pembuluh darah batang otake Mas Aji pecah.” Ups, kami sama-sama terdiam, tahu apa yang tidak kuat kami katakan. Dua jam sesudah itu, kabar menghentak datang. Probo menelepon, “Mas Aji seda.” Babi, begitu kami memanggil Mas Aji, tidur untuk selamanya.

Usai disemayamkan di rumah duka di Semarang, tempat Mas Aji tinggal beserta istri dan dua jagoan kecil, jenazah akan diusung ke rumah orangtua di Magelang. Tengah malam nanti berangkat, berarti subuh tiba.

Tapi rencana berubah. Baru akan esok pagi jenazah diberangkatkan dari Semarang. Aduh, bakal tak bisa melihat wajah Mas Aji untuk terakhir kalinya, batin saya. Akan tidak tenang hati saya kalau itu terjadi. Pribadi kocak, konyol, nan sederhana itu meninggalkan banyak kenangan selama hidupnya.

Jumat pagi saya mesti terbang ke Aceh. Tak mungkin menghadang jenazah di Magelang. Ke Semarang malam itu juga? Sudah 2 hari saya nyaris tidak tidur. Bagaimana jika mengantuk di perjalanan?

Saya punya waktu 3 jam untuk menempuh jarak sekira 220 km. Berangkat 3 jam, pulang 3 jam. 1 jam di sana. Cukup! Cukup! Cukup! Rasa kantuk saya abaikan.

Pulang, ambil mobil, berangkat. Bapak saya ajak untuk menemani, dan mengganti pegang kemudi jika saya mengantuk. Nyatanya, saya tak mengantuk. Ingatan akan Mas Aji seperti menjaga mata saya untuk tak terpejam. Pukul 02.00 wib, tibalah di Semarang. Pribadi yang begitu hangat itu terlelap sudah.

“Selamat jalan, Mas. Damailah dalam tidur panjangmu. Terima kasih atas persaudaraan kita,” batin saya sembari memegang kedua tangannya yang memeluk rosario. Lega hati saya. Lega pula hati saya merangkul Probo yang berusaha tabah atas peristiwa ini. Lega hati saya menjumpai Bapak-Ibu mendaraskan doa tiada henti di samping peti. Kedua anak Mas Aji, tidur pulas di kamar bersama Mbak Lucy, ibu mereka.

Merasa cukup, saya pamit. Langsung kembali ke Jogja, menyibak subuh bersama truk-truk yang berburu pasir di lereng Merapi.

Sampai rumah, mandi, sarapan, dan menyambar tas yang isinya sudah saya siapkan malam sebelumnya, saya langsung meluncur ke bandara. Capek, mengantuk, namun lega. Maka, sepanjang penerbangan Jogja-Jakarta dan Jakarta-Medan saya tidur.

Bahkan, saat bus Anugerah jurusan Medan-Banda Aceh yang saya tumpangi baru berpamitan di gerbang keluar kota Medan, mata saya sudah lebih dulu berpamitan. Tahu-tahu sudah sampai Kota Langsa. Bus menepi, dan menyilakan penumpang bersantap malam. Rupanya di tengah jalan tadi bus menaikkan penumpang sehingga begitu menoleh ada orang di kursi sebelah saya. Sebelumnya kosong.

“Sekitar 3 jam lagi,” jawab sopir saat saya tanya pukul berapa bus tiba di Lhokseumawe. Saya belum pernah ke kota itu. Ini perjalanan pertama saya. Sendiri, hanya mengandalkan informasi dari panitia pelatihan menulis kreatif yang mengundang saya. Saya belum pernah kenal panitia, toh percaya saja pada informasi mereka.

Kelar makan, saya kembali merem. Pendingin udara tak bisa diatur, saya memilih pasrah saja mendekap tas. Dan mendekap malam, sampai ketika terbangun saya terkejut. Jam digital di samping kiri-atas sopir menunjukkan angka 01:15 wib. Sudah lewat 3 jam dari waktu yang disebutkan sopir di perhentian tadi.

Semua lelap. Kondektur yang saya minta membangunkan pun membujurkan diri di belakang kursi paling belakang. Saya melangkah ke depan, bertanya pada sopir.

“Sudah lewat. Tadi kondektur sudah teriak-teriak, Abang tidak bangun,” ah kenapa jadi sopir yang panik.

“Kota terdekat saya turun, Bang,” pinta saya.

Kota terdekat segera menyambut. Bukan kota besar, hanya semacam pasar. Deretan kios yang halamannya terang menunjukkan itu. Saya turun dan menyeberang jalan. Tak tahu saya ada di mana. Tak satu pun papan nama terpampang. Tak ada orang di sekitar itu. Tak ada satu pun warung tampak buka. Tak ada yang bisa saya tanyai.

Saya hanya yakin, pasti ada bus ke arah Medan. Ini kan jalan antarprovinsi, 24 jam ada pengangkut umum. Pengalaman berjalan-jalan ke berbagai daerah seorang diri mengerem jantung untuk tidak usah deg-degan dalam keadaan seperti itu. Bukan kali pertama saya tertidur dalam perjalanan. Bukan kali pertama kali saya nyasar ke tempat entah. Dan bukan kali pertama saya tenang-tenang saja. Inilah kenapa saya memilih perjalanan tengah malam. Esok kan pagi.

Tak berselang lama, datang sebuah bus Anugerah jurusan Banda Aceh-Medan. Saya lambaikan tangan supaya berhenti. Naik lewat pintu belakang, kondektur yang sedang tidur bangun menyambut.”

“Tidak, berdiri saja. Lhokseumawe saya turun,” jawab saya ketika ia menunjukkan bangku kosong di tengah. Ia mengangguk tanda paham ketika saya menunjukkan alamat sebuah hotel tempat saya menginap. “Setengah jam,” katanya. Wow, setengah jam di malam hari, lalu lintas sepi, dan bus melaju seperti kuda troya… jauh juga saya kebablasan.

“Itu di seberang,” tunjuk abang kondektur saat bus berhenti untuk menurunkan saya. Selembar uang bergambar Sultan Mahmudi Badaruddin II berpindah ke tangan abang kondektur.

Sampai juga saya di tempat menginap. Resepsionis segera mengulungkan kunci kamar 318 begitu saya menyebut nama diri. Rupanya panitia sudah memesankan kamar.

Sudah pukul 02.00 ketika saya memasuki kamar. Membilas tubuh secukupnya, saya memutuskan tak tidur. Selain khawatir kesiangan, tidur sepanjang jalan sudah saya anggap cukup. Lebih baik membuka laptop dan menulis. Nomor restoran saya hubungi untuk memesan minum dan makanan ringan. Teh panas seduh plus kentang goreng seporsi besar menemani saya sampai pagi. Tak tidur.

Paginya saya bergegas ke lokasi pelatihan. Bukan di hotel itu. Bukan di kota itu. Tapi di Panton Labu, kota kecamatan di timur Lhokseumawe. Sejam perjalanan naik kendaraan umum. Saya berusaha tak tidur, supaya tak kebablasan lagi.

Sorenya, usai pelatihan, saya kembali ke Kota Lhokseumawe. Mampir sebentar di hotel, sekadar mandi, saya pergi ke tengah kota. Naik becak dengan ongkos Rp 7.000 wib, saya minta diantar ke lapangan Hiraq. Sekadar berjalan-jalan, makan mie aceh, dan minum “Ulee Kareng” khas kota di Aceh Utara itu. Sekadar merasakan suasana kota yang tak pernah tidur karena di mana-mana bertebaran warung kopi. Sekadar merasakan obrolan remeh-temeh sampai serius. Sekadar menyingkap sedikit tabir Aceh yang konon sulit disingkap.

Saya tak tidur sampai subuh. Kopi aceh menjaga mata saya. Bahkan, saat mengisi pelatihan hari kedua pun tak tersapa rasa kantuk. Baru saya tertidur saat menumpang bus malam ke Medan. Baru saya tidur ketika kembali ke Jogja naik tabung ajaib bercap singa mengaum.