Sebuah undangan sangat resmi mengantar saya ke sebuah forum bergengsi di Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Forum itu bernama “Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada”. Agenda rapat hanya satu: mendengarkan pidato pengukuhan Dr Heddy Shri Ahimsa-Putra, MA, MPhil sebagai guru besar antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Sangat menarik tema pidato yang dibawakan ahli strukturalisme Levi-Strauss ini: Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya; Sketsa Beberapa Episode. Jauh lebih menarik ketimbang menggubris hari pahlawan yang hari ini diperingati dengan upacara bendera sangat kering di berbagai instansi. Tentu, ketertarikan ini sangat dipengaruhi oleh paradigma saya, cara pandang saya, tentang sesuatu yang bernama kepahlawanan. Bagi saya, tema kepahlawanan sudah usang. Heroisme hanyalah busa pemanis bagi mereka yang tak percaya diri.

Profesor Heddy memulai paparan 32 halamannya dengan menyodorkan kritik terhadap ilmu-ilmu sosial-budaya di Indonesia. Disebutnya, mengutip Prisma, 1994, secara teoritis dan metodologis, ilmu sosial-budaya di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan. Berbagai kemunculan hasil penelitian tidak mampu mendorong munculnya kajian kritis atas teori serta metode yang ada. Arah perkembangannya pun tidak jelas. Tidak ada sumbangan nyata untuk mengatasi berbagai masalah sosial-budaya. Para ilmuwan sosial-budaya dinilai masih mengawang-awang, suka menghambur-hamburkan pernyataan abstrak, tidak membumi.

Karenanya, menurut Heddy, diperlukan paradigma baru untuk membenahi situasi tersebut. Dan gagasan tentang paradigma yang mau tidak mau wajid disitir adalah pandangan Thomas Kuhn, sebagaimana tertoreh di bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1970). Kata Kuhn, perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memancang suatu persoalan. Pandangannya mencakup dua hal, sebagaimana ditafsirkan oleh Newton-Smith (1981). Pertama, generalisasi simbolis milik bersama, yakni anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi teoritis pokok yang diyakini bersama, yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Kedua, model-model, yakni analogi atau perumpamaan mengenai gejala yang dipelajari dan disepakati sebagai alat perantara (heuristic device) untuk melakukan penelitian.

Ketiga, nilai-nilai, yakni bahwa komunitas-komunitas ilmuwan pada dasarnya menganut nilai-nilai tertentu dalam kegiatan ilmiahnya. Keempat, prinsip-prinsip metafisis, yakni asumsi-asumsi yang tidak perlu diuji tetapi menentukan arah penelitian. Kelima, masalah-masalah konkret, yakni masalah-masalah yang dipelajari beserta cara-cara penyelesaiannya.

Agak sulit mengurai soal ini karena istilah paradigma sangat jarang digunakan di kalangan ilmuwan sosial-budaya, demikian hadang Heddy menjawab kesanksian penerapan istilah ini di kalangannya.

Meski sulit, Heddy berusaha menembusnya dari berbagai pintu. Ia meminjam pisau Cuff dan Payne, pinjam sabit antropolog Inggris EB Tylor tentang evolusi kebudayaan (yang berlangsung dalam tiga tahap: savagery, barbarism, dan civilization) yang kemudian disempurnakan oleh LH Morgan. Namun, oleh White, teori keduanya ini dianggap bersifat subyektif, dan technological bias-nya begitu kuat.