Ada yang sedang singgah di kepala. Tentang bekerja.

15 tahunan saya bekerja. Sejak di bangku sekolah, saya sudah mencicipi dunia kerja. Meski kerja sederhana. Sewaktu SMP, saya sudah nyambi mendampingi pramuka sekolah lain menggelar perkemahan. 3 hari, saya diamplopi Rp 10.000. Girang bukan main saat itu.

Saat SMA juga. Wesel Rp 36.000 saya cairkan di kantor pos atas jerih saya menulis di sebuah majalah ibu kota. Cukup untuk nraktir temen-temen makan bakso di kantin. Cukup pula untuk cerita di rumah pada ibu dan bapak. Malah, sangat besar nilainya ketika saya selalu menceritakan pengalaman itu sampai sekarang.

Sewaktu SMA itu pula, saya berkenalan dengan dunia kerja yang profesional. Lamaran saya menjadi wartawan di Harian Bernas diterima. Saat itu saya baru menyelesaikan kelas 1 secara tertatih-tatih setelah tidak masuk sekolah 2 bulan gara-gara kecelakaan lalu lintas. Harian Bernas memang menerima wartawan pelajar kala itu. Koran yang manajemennya dikelola oleh Kompas itu memberi kesempatan kepada pelajar mengelola satu halaman setiap hari minggu. Satu halaman penuh tanpa iklan! Setiap minggu, tidak boleh bolong! DAN TIDAK ADA SEPESER UANG PUN UNTUK PEKERJAAN ITU!

Nama rubrik yang kami asuh adalah Gema. Semua wartawannya pelajar. Pekerjaan kami sama dengan wartawan dewasa lainnya: merencanakan, meliput, mewawancarai, mencari data, memotret, menulis, menyunting! Kalau luput dimaki. Sama! Kalau kerjaan belum selesai, sudah malam sekali pun, tidak boleh pulang. Sama!

Saya menikmati pekerjaan itu, meski di awal-awal harus tertatih-tatih. Bukan saja karena tidak punya pengalaman menulis dan bekerja di lapangan, melainkan karena kaki saya belum tegak untuk berdiri. Untuk berjalan saya masih pakai kruk penyangga. Sungguh-sungguh tertatih.

Syukurlah bahwa saya bersungguh-sungguh saat itu. Meski tidak dibayar, saya merasa menerima bayaran yang jauh lebih bernilai daripada nilai uang jika pekerjaan saya dihitung seperti karyawan profesional lainnya. Bayaran itu adalah KESEMPATAN. Kesempatan apa? Kesempatan untuk menanam. Menanam apa? Menanam kepercayaan. Kepercayaan apa? Kepercayaan bahwa saya punya kemauan, saya mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dan… saya selalu terbuka untuk belajar.

Tidak hanya di Gema saya bekerja tak berbayar. Di Majalah Balairung-UGM, kampus saya kuliah, dan di Sanggar Talenta, Penerbit Kanisius, saya belajar menulis, juga menerbitkan buku tanpa diimbali duit. Tahun-tahun awal bekerja di Majalah Basis dan Majalah Utusan pun sama. Jika saya butuh uang, terutama untuk membayar kuliah, saya menulis di media massa. Entah menulis opini, entah menulis resensi buku, atau reportase lainnya. Syukurlah, selama kuliah, saya mendapatkan kepercayaan dari Harian Bernas untuk menjadi kolumnis tetap di rubrik “Teropong”, bersama guru menulis saya St Kartono.

Seterusnya.

Ketika saya sampai di sini sekarang, saya berkaca ke belakang. Apakah ini buah yang saya petik dari benih yang saya tanam dulu? Ya, pasti. Kepercayaan yang satu persatu diletakkan di pundak saya, saya sadari sebagai simpul dari kepercayaan-kepercayaan kecil masa lalu yang bisa saya tuntaskan. Syukurlah jika seperti itu.

Apakah sekarang saya tidak lagi menanam? Tentu tidak.

Menanam sepanjang hayat. Jika tidak saya yang memanen, ya anak saya, keturunan saya, generasi sesudah saya.

Apa yang saya tanam sekarang? Tiada lain, bekerja semakin profesional, lebih mumpuni. Juga menanam perilaku: hormat kepada siapa pun, menghargai siapa pun, dan berempati kepada orang lain. Saya mengingatkan diri untuk tidak takabur. Roda hidup berputar. Siap di atas, siap di bawah. Siap di puncak, siap di ngarai. Siap memimpin, siap dipimpin.

Kepada teman-teman kerja, saya tidak jemu-jemu melontarkan refleksi itu. “Suatu saat kalian yang jadi pemimpin.” Saya siap dipimpin. Bisa karena mereka yang makin pintar, bisa karena saya kian tumpul.

Dengan benih-benih perilaku yang saya tanam, semoga saya selalu bisa bekerja sama dengan siapa pun, kapan pun, dalam peran apa pun.

Menanam sepanjang hidup. Bukan karena digaji tinggi, tetapi supaya belajar tiada henti.